Kebenaran
Ilmiah
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah “Filsafat Ilmu”
Disusun Oleh:
Zaini Maftukhin
STAI KHOZINATUL ULUM BLORA
2015/2016 M.
بسم الله الرحمن الرحيم
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Berfikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang
benar. Apa yang di sebut benar bagi seseorang belum tentu benar bagi orang
lain, karna itu kegiatan berfikir adalah usaha untuk menghasilkan pengetahuan
yang benaratau kriteria kebenaran. Pada setiap jenis pengetahuan tidak sama
kriteria kebenarannya karna sifat dan watak pengetahuan itu berbeda.
pengetahuan umum tentang alam metafisika tentunya tidak sama dengan pengetahuan
alam fisik. Alam fisik pun memiliki perbedaan ukuran kebenaran bagi setiap
jenis dan bidang pengetahuan. [1]
Oleh karena itu, untuk lebih lanjut mengenai hal-hal kebenaran, makalah
ini membahas tentang “Kebenaran Ilmiah” Supaya kita bisa membedakan antara yang
kita anggap benar dan yang kita anggap tidak benar .
B. Rumusan Masalah
a.
Apa arti kebenaran?
b.
Menjelaskan tentang teori-teori kebenaran?
c. Menjelaskan
sifat kebenaran ilmiah?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui arti kebenaran.
2.
Mengetahui tentang teori-teori kebenaran.
3.
Mengetahui sifat kebenaran ilmiah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pandangan Tentang Kebenaran Ilmiah
Manusia sebagai subjek yang mengetahui hakikat
kebenaran terhadap suatu objek berkembang karena kreativitas menusia mencapai
puncak pada zaman tertentu. Menurut Semiawan, dkk (1999: 76), berpendapat bahwa
setiap evolusi ilmu selalu dimulai dengan suatu bahwa intelektual (intellectual exercise) oleh kelompok
ilmuan tertentu yang menumbuhkan suatu gagasan baru kemudian berkembang menjadi
suatu konsep baru dan kemnudia berkembang menajdi sutau konsep atau pola
pengetahuan baru yang sebelumnya tidak ada ataupun tidak diharapkan akan ada,
suatu tindakan kreatif yang bersumber dari suatu inovatif, bertolak dari
masukan ilmu yang sudah ada sebagai batu loncatan tranformasi fundamental”.
Munculnya berbagai teori ilmu (sciense)
karena manusia dengan demensi kreatifnya mencapai puncak pembicaraan tentang
apa yang disebut kebenaran ilmiah.[2]
Menurut Lincoln dan Cuba (1985: 14) sebagaimana
pendapat Julienne Ford dalam Paradigms and Fairy Tales (1975) yang
mengemukakan bahwa istilah kebenaran atau truth
(T) bisa memiliki arti yang berbeda yang disimbolkan dengan T1, T2, T3, T4
(Supriadi, 1998).
Kebenaran pertama (T1) adalah kebenaran metafisik.
Sesungguhnya kebenaran ini tidak bisa diuji kebenarannya (baik melalui
justifikasi maupun falsifikasi/kritik) berdasarkan norma eksternal seperti
kesesuaian dengan alam, logika deduktif atau standart-standart perilaku
prosefional. Kebenaran metafisik merupakan kebenaran yang paling mendasar dan
puncak dari seluruh kebenaran (basic,
ultimate truth), karena itu harus diterima apa adanya (given for granted). Misalnya kebenaran Iman dan doktrin-doktrin
absolut agama
Kebenaran kedua (T2) adalah kebenaran etik yang
merujuk kepada perangkat standart moral atau profesioanl tentang perilaku yang
pantas dilakukan, termasuk kode etik (code
of conduct). Seseorang dikatakan benar secara etik bila ia berperilaku
sesuai dengan standart perilaku itu. Sumber T2 bisa dari T1 atau dari norma
sosial budaya suatu kelompok masyarakat atau komunitas profesi tertentu. Kebenaran
ini ada yang mutlak (memenuhi standar etika universal) dan ada pula yang
relatif.
Kebenaran ketiga (T3) adalah suatu kebenaran logika.
Sesuatu dianggap benar apabila secara logik atau matematis konsisten dan
koheren dengan apa yang telah diakui sebagai benar, (dalam pengertian T3) atau
sesuai dengan apa yang benar menurut kepercayaan metafisik (T1). Aksioma
metafisik yang menyatakan bahwa sudut-sudut segitiga sama sisi masing-masing 60
derajat, atau 1+1= 2, adalah contoh kebenaran logika. Peran rasio atau logika
sangat dominan dalam T3. Meskipun demikian, sebagaimana pada bagian kebenaran
T2, kebenarab ini tidak terlepas dari konsensus orang-orang yang terlibat di
dalamnya. Bahkan 1 + 1 = 2 pun pada dasarnya adalah hasil konsensus, mengapa
tidak 1 + 1 = 3? Tapi karena konsessus itu logis maka diterima secara bersama.
Kebenaran keempat (T4) adalah kebenaran empirik yang
lazimnya dipercayai melandasi pekerjaan ilmuan dalam melakukan penelitian.
Sesuai (kepercayaan asumsi, dalil, hipotesis, proposisi ) dianggap benar
apabila konsisten dengan kenyataan alam, dalam arti dapat diverifikasi,
dijastifikasi atau kritik. Dalam konteks ini, teori korespondensi anatara teori
dengan fakta antara pengetahuan a
prioriti dengan pengetahuan a
posteriori (demikian Immanuel Kant menyebutnya), menjadi persoalan utama.
Di antara ke emapat kenis kebenaran menurut Ford di atas, maka dalam
kajian filsafat ilmu kajian yang difokuskan adalah terhadap kebenaran empirik
(T4) yang di sebut juga kebenaran ilmiah, tentu saja dengan tidak
mengesampingkan kebenaran pertama, kedua, dan ketiga. Kebenaran ilmiah yang
melibatkan subjek (manusia, knower,
observer) dengan objek (fakta, realitas, dan known).[3]
B. Teori-teori Kebenaran Ilmiah
Secara tradisional
teori-teori tentang kebenaran[4], yaitu:
1. Teori
kebenaran saling berhubungan
Menurut
Kattoff (1986) dalam bukunya Elements of philosophy teori koherensi
dijelaskan “...suatu proposisi cenderung benar jika proposisi tersebut dalam
keadaan saling berhubungan dengan proposisi lain yang benar, atau jika makna
yang dikandungnya dalam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman kita”.
Dapat
diungkapkan bahwa suatu proposisi apabila berhubungan dengan ide-ide dari
proposisi yang telah ada atau benar, atau juga apabila proposisi itu
berhubungan dengan proposisi terdahulu yang benar.
2. Teori
kebenaran saling berkesesuaian
Teori
kebenaran ini menyatakan bahwa segala sesuatu yang kita ketahui dapat
dikembalikan pada kenyataan yang dikenal oleh subjek.[5]
Teori ini berpandangan bahwa suatu proposisi bernilai
benar apabila saling berkesusaian dengan dunia kenyataan.
3. Teori
kebenaran inherensi
Teori
ini disebut juga teori pragmatis. Pandangannya adalah suatu proposisi bernilai
benar apabila mempunyai konsekuensi yang dapat dipergunakan atau bermanfaat.
4. Teori
kebenaran berdasarkan arti
Proposisi
itu ditinjau dari segi arti atau maknanya. Apabila proposisi yang merupakan
pangkal tumpunya mempunyai refean yang jelas. Oleh sebab itu, teori ini mempunyai tugas untuk menggunakan kesahan
dari proposisi dalam referensinya.
5. Teori
kebenaran sintaksis
Suatu
pernyataan memiliki nilai benar apabila pernyataan yang mengikuti aturan
sintaksis yang baku. Atau dengan kata lain apabila proposisi itu tidak
mengikuti syarat atau keluar dari hal yang disyaratkan maka proposisi itu tidak
mempunyai arti. Teori ini berkembang di antara para Filsuf analisis bahasa.
6. Teori
kebenaran nondeskripsi
Suatu
pernyataan akan mempunyai nilai benar yang amat tergantung peran dan fungsi
dari pada pernyataan itu.
7. Teori
kebenaran logis yang berlebihan
Pada
dasarnya menurut teori kebenaran ini, bahwa problema kebenaran hanya merupakan
kekacauan bahasa saja dan berakibat suatu pemborosan, karna pada dasarnya apa
yang hendak dibuktikan kebenarannya memiliki drajat logis yang sama yang
masing-masing saling melingkupinya.
C. Sifat Kebenaran Ilmiah
Kebenaran ilmiah muncul dari hasil penelitian ilmiah maksudnya
suatu kebenaran tidak mungkin muncul tanpa adanya prosedur baku yang harus
dilaluinya. Prosedur baku yang harus dilalui itu adalah tahap-tahap untuk
memperoleh pengetahuan ilmiah yang pada hakekatnya berupa teori.
Kebenaran ilmiah bersifat rasional, semua orang yang rasional yang
dapat menggunakan akal budinya secara baik akan dapat memahami kebenaran ilmiah
ini. Atas dasar ini kebenaran ilmiah kemudian dianggap sebagai kebenaran yang
berlaku universal.
Kebenaran dalam ilmu adalah kebenaran yang sifatnya objektif,
maksudnya adalah bahwa kebenaran dari suatu teori atau paradigma harus didukung
oleh fakta-fakta yang berupa kenyataan dalam keadaan keobjektifannya dan
kebenaran yang benar-benar lepas dari keinginan subjek. Kebenaran ilmiah juga
memiliki sifat empiris yang ingin mengatakan bahwa bagaimanapun juga kebenaran
ilmiah perlu diuji dengan kenyataan yang ada. Bahkan, sebagian besar
pengetahuan dan kebenaran ilmiah berkaitan dengan kenyataan empiris didalam
dunia ini.
Hal yang cukup penting ada perlu mendapatkan perhatian dalam hal
kebenaran, yaitu bahwa kebenaran dalam ilmu harus selalu merupakan hasil
persetujuan atau konvensi dari para ilmuan pada bidangnya. Oleh karena itulah
kebenaran ilmu juga memiliki sifat universal, sejauh kebenaran ilmu itu dapat
dipertahankan.[6]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Menurut Lincoln dan Cuba (1985: 14)
sebagaimana pendapat Julienne Ford dalam
Paradigms and Fairy Tales (1975) yang
mengemukakan bahwa istilah kebenaran atau truth
(T) bisa memiliki arti yang berbeda yang disimbolkan dengan T1, T2, T3, T4
(Supriadi, 1998).
· Kebenaran
pertama (T1) adalah kebenaran metafisik.
· Kebenaran
kedua (T2) adalah kebenaran etik yang merujuk kepada perangkat standart moral
atau profesioanl tentang perilaku yang pantas dilakukan, termasuk kode etik (code of conduct).
· Kebenaran
ketiga (T3) adalah suatu kebenaran logika.
· Kebenaran
keempat (T4) adalah kebenaran empirik yang lazimnya dipercayai melandasi
pekerjaan ilmuan dalam melakukan penelitian.
Secara
tradisional teori-teori tentang kebenaran yaitu:
ü Teori
kebenaran saling berhubungan
ü Teori
kebenaran saling berkesesuaian
ü Teori
kebenaran inherensi
ü Teori
kebenaran berdasarkan arti
ü Teori
kebenaran sintaksis
ü Teori
kebenaran nondeskripsi
ü Teori
kebenaran logis yang berlebihan
Kebenaran ilmiah muncul dari hasil penelitian ilmiah maksudnya
suatu kebenaran tidak mungkin muncul tanpa adanya prosedur baku yang harus
dilaluinya.
Kebenaran ilmiah bersifat rasional, semua orang yang rasional yang
dapat menggunakan akal budinya secara baik akan dapat memahami kebenaran ilmiah
ini.
Kebenaran dalam ilmu adalah kebenaran yang sifatnya objektif,
maksudnya adalah bahwa kebenaran dari suatu teori atau paradigma harus didukung
oleh fakta-fakta yang berupa kenyataan dalam keadaan keobjektifannya dan
kebenaran yang benar-benar lepas dari keinginan subjek.
والله اعلم باالصواب
DAFTAR PUSTAKA
Amsal Bakhtiar,
Filsafat Ilmu, Jakarta: PT. Raja Grafindo Perasada, 2011.
Abbas Hamammi,
1996.
Keraf, Sonny
dan Mikael Dua. Filsafat Ilmu : Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan
Filosofis, Yogyakarta. Kanisius. 2011.
Surajiyo, Ilmu
Filsafat : Suatu pengantar, Jakarta : PT. Bumi aksara, 2005.
https://www.academia.edu/8778228/Filsafat_Ilmu diposting pada
tanggal 24 oktober 2014
[1] Amsal
Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Jakarta: PT. Raja Grafindo Perasada, (2011),
hlm 111.
[2] Keraf, Sonny dan Mikael Dua. Filsafat Ilmu : Ilmu
Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis, Yogyakarta, Kanisius, 2011
[3] ibid,...
[4] Surajiyo, Ilmu
Filsafat : Suatu pengantar, Jakarta : PT. Bumi aksara, 2005, hlm. 58.
[5] Abbas Hamammi,
1996, hlm. 116.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar