Selasa, 22 November 2016

Perkembangan Pola Pikir Manusia Dari Mitos Sampai Metode Ilmiah



Perkembangan Pola Pikir Manusia Dari Mitos Sampai Metode Ilmiah

Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Ilmu Budaya Dasar, Ilmu Sosial Dasar
dan Ilmu Alamiyah Dasar

Disusun Oleh:
Puput Bariadi
Mohamad Ali Musthofa

STAI KHOZINATUL ULUM BLORA
2015/2016 M.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Seiring perkembangan zaman yang semakin modern dan maju, pemikiran manusia menjadi semakin ilmiah dari awalnya yang hanya sebuah kepercayaan yang dainggap benar, padahal hakikatnya kejadian itu belum bisa dipertanggungjawabkan keabsahanya. Mayoritas manusia zaman dahulu, proses berfikir logis dan rasional sangatlah terbatas, sehingga melahirkan suatu kepercayaan yang pada dasarnya tidak sesuai dengan metode ilmiah. Karena mereka menganggap bahwasanya apa yang diyakini itu benar, sehingga hal itu menjadi suatu kebudayaan dan adat istiadat yang turun-menurun dalam masyarakat yang belakangan kita kenal sebagai mitos. Seperti orang tua yang menegur anaknya ketika ingin keluar malam, karena orang tua tersebut takut jikalau anaknya terkena bahaya sehingga mengatakan kalau keluar malam nanti akan dibawa wewe gombel, dan ribuan mitos yang lain.  
Namun, pola berpikir manusia dalam kehidupannya sekarang ini lambat laun telah berubah, dari adat kepercayaan yang membudaya menjadi suatu ilmu pengetahuan yang bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya. Kemajuan ini didorong oleh beberapa faktor, antara lain adalah rasa ingin tahu. Dengan rasa ingin tahu, telah menggerakkan manusia itu untuk lebih berfikir, bertindak, dan menganalisa suatu kejadian yang semula hanyalah sebuah mitos masyarakat, menjadi suatu ilmu pengetahuan.
Walaupun pola pikir manusia di dunia ini sudah mengalami kemajuan, dari kepercayaan suatu mitos menjadi metode pengetahuan ilmiah, tetapi tidak sedikit sekelompok masyarakat yang masih mempercayai mitos sebagai suatu kebenaran yang hakiki. Maka dari itu, kami rasa sangatlah perlu mengangkat judul ini sebagai suatu pembahasan yang dapat memberikan pemahaman tentang kemajuan pola pikir manusia dari mitos sampai metode ilmiah. 

1.2  Rumusan Masalah
1.2.1        Bagaimana asal-usul berkembangnya pola pikir manusia?
1.2.2        Bagaimana sejarah munculnya mitos dan metode ilmiah?
1.2.3        Bagaimana hubungan antara mitos dan metode ilmiah?
1.2.4        Apakah validitas mitos & metode ilmiah bisa dipertanggung-jawabkan sebagai sumber pengetahuan dan sumber kebenaran?

1.3  Tujuan & Manfaat Penulisan
1.3.1        Mengetahui asal-usul perkembangan pola pikir manusia.
1.3.2        Mengetahui pengertian mitos dan metode ilmiah.
1.3.3        Mengetahui hubungan antara mitos dan metode ilmiah.
1.3.4        Mengetahui validitas mitos & metode ilmiah sebagai sumber pengetahuan dan sumber kebenaran.




BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian / Definisi
2.1.1        Definisi Mitos
            Mitologi berasal dari kata “mite” atau “mitos”1 dan “logos”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mitos adalah cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan zaman dahulu, mengandung penafsiran tentang asal-usul semesta alam, manusia, dan bangsa tersebut mengandung arti mendalam yang diungkapkan dengan cara gaib2. Mitologi adalah Ilmu yang mempelajari tentang mitos. Lebih lengkapnya mitologi merupakan ilmu tentang bentuk sastra yang mengandung konsepsi dan dongeng suci mengenai kehidupan dewa dan makhluk halus di suatu kebudayaan3.

2.1.2        Definisi Metode Ilmiah
Metode ilmiah tersusun dari dua kata, yakni metode dan ilmiah. Metode berasal dari kata Yunani, methodos, sambungan kata depan meta (menuju, melalui, mengikuti, sesudah) dan kata benda hodos (jalan, perjalanan, cara, arah). Kata methodos sendiri berarti penelitian, metode ilmiah, hipotesis ilmiah, uraian ilmiah. Metode ialah cara bertindak menurut sistem alur tertentu4.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), metode adalah cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan5. Sedangkan ilmiah adalah bersifat ilmu; secara ilmu pengetahuan; memenuhi syarat (kaidah) ilmu pengetahuan6. Jadi, metode ilmiah adalah pendekatan atau cara yang dipakai dalam penelitian suatu ilmu7.
Menurut Soejono Soemargono (1983), metode ilmiah secara garis besar ada dua macam: Pertama, Metode ilmiah yang bersifat umum; Kedua, Metode Penyelidikan Ilmiah. Pertama, Metode ilmiah bersifat umum dibagi dua, metode analitiko-sintesa (gabungan metode analisis dan sintesa) dan metode non deduksi (gabungan metode deduksi dan induksi).
Metode analisis ialah cara penanganan terhadap suatu obyek ilmiah tertentu dengan jalan ‘memilah-milahkan’ pengertian yang satu dengan pengertian yang lain. Metode sintesa ialah cara penanganan terhadap suatu obyek tertentu dengan ‘menggabungkan’ pengertian yang satu dengan pengertian yang lain.
Metode deduksi ialah cara penanganan terhadap sesuatu objek tertentu dengan jalan menarik kesimpulan mengenai hal-hal yang bersifat khusus berdasarkan atas ketentuan hal-hal yang bersifat umum. Sedangkan metode induksi ialah cara penanganan terhadap sesuatu objek tertentu dengan jalan menarik kesimpulan yang bersifat umum atau bersifat lebih umum berdasarkan atas pemahaman atau pengamatan terhadap sejumlah hal yang bersifat khusus8.

2.2  Landasan Teori
2.2.1        Teori Kebenaran9
Jujun S. Suriasumantri membagi teori kebenaran menjadi 3:
a.       Teori Koherensi
Berdasarkan teori koherensi, suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Bila kita menganggap bahwa “semua manusia pasti akan mati” adalah suatu penyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “Si Fulan adalah seorang manusia dan Si Fulan pasti akan mati” adalah benar pula sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan pertama. Teori ini pada mulanya didukung oleh Plato dan Aristoteles.
b.      Teori Korespondensi
Pada teori korespondensi, suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Jika seseorang mengatakan bahwa “Ibukota Republik Indonesia adalah Jakarta”, maka pernyataan itu adalah benar sebab pernyataan itu dengan obyek yang bersifat faktual yakni Jakarta yang memang menjadi Ibukota Republik Indonesia. Berbeda jika seseorang mengatakan bahwa, “Ibukota Republik Indonesia adalah Bandung”, maka pernyataan itu adalah tidak benar sebab tidak sesuai dengan obyek faktual. Secara faktual, Ibukota Repubik Indonesia adalah Jakarta, bukan Bandung. Teori ini dikembangkan oleh Bertrand Russell (1872-1970).

c.       Teori Pragmatis
Bagi seorang pragmatis, maka kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria, apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia. Pragmatisme merupakan teori dalam penentuan kriteria kebenaran. Kaum pragmatis berpaling kepada metode ilmiah sebagai metode untuk mencari pengetahuan tentang alam ini yang dianggapnya fungsional dan berguna dalam menafsirkan gejala-gejala alamiyah. Teori ini dicetuskan oleh Charles S. Pierce (1839-1914), dan dikembangkan oleh ahli filsafat antara lain William James (1863-1931), John Dewey (1859-1952), George Herbert Mead (1863-1931) dan C.I. Lewis.

2.2.2        Sumber Pengetahuan10
Masih menurut Jujun S. Suriasumantri, ada dua cara pokok dan dua cara lain (empat cara) bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar, yakni:
a.   Rasio/Penalaran
      Kaum rasionalis menggunakan metode deduktif dalam menyusun pengetahuannya. Premis yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari ide yang menurut anggapannya jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukanlah ciptaan pikiran manusia. Fungsi pikiran manusia hanyalah mengenali prinsip tersebut yang lalu menjadi pengetahuannya. Paham inilah yang dinamakan idealisme. Ide bagi kaum rasionalis adalah bersifat apriori dan pra-pengalaman yang didapatkan manusia lewat penalaran rasional. Pengalaman tidaklah membuahkan prinsip dan justru sebaliknya, hanya dapat mengetahui prinsip yang didapat lewat penalaran rasional itulah maka kita dapat mengerti kejadian-kejadian yang berlaku dalam alam sekitar kita.
b.   Pengalaman Empiris
      Berlainan dengan kaum rasionalis, maka kaum empiris berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu bukan didapatkan lewat penalaran rasional yang abstrak, namun lewat pengalaman yang konkret. Gejala-gejala alamiyah adalah besifat konkret dan dapat dinyatakan lewat tangkapan pancaindera manusia. Sebagai contoh, suatu benda padat jika dipanaskan akan memuai/memanjang. Langit mendung disertai dengan turunnya hujan. Demikian seterusnya dimana pengamatan kita akan membuahkan pengetahuan mengenai berbagai gejala yang mengikuti pola tertentu. Kita juga melihat adanya karakteristik lain yakni adanya kesamaan dan pengulangan atas peristiwa tersebut atau peristiwa lain yang sejenis, semisal logam lain. Kaum empiris menganggap bahwa dunia fisik adalah nyata karena merupakan gejala yang tertangkap oleh panca indera.
c.   Intuisi
      Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu. Intuisi bersifat personal dan tidak bisa diramalkan. Seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah tiba-tiba saja menemukan jawaban atas permasalahan tersebut. Jawaban atas permasalahan yang sedang difikirkannya muncul di benakknya bagaikan kebenaran yang membukakan pintu. Intuisi bekerja dalam keadaan tidak sepenuhnya sadar, artinya tidak ada ikhtiar untuk mendapatkan jawaban melalui intuisi. Pengetahuan intuitif dapat dipergunakan sebagai hipotesis bagi analisis selanjutnya dalam menentukan benar dan tidaknya pernyataan yang dikemukakannya.
d.  Wahyu
      Wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada manusia. Pengetahuan ini disalurkan lewat nabi-nabi yang diutusnya sepanjang zaman. Kepercayaan kepada Tuhan yang merupakan sumber pengetahuan, kepercayaan kepada nabi sebagai perantara dan kepercayaan terhadap wahyu sebagai cara penyampaian, merupakan dasar dari penyusunan pengetahuan ini. Berbeda dengan filsuf Rene Descartes yang memulai meragukan sesuatu untuk mencapai pengetahuan dan kebenaran, maka wahyu yang diwakili lewat agama dimulai dengan rasa percaya, dan lewat pengkajian selanjutnya untuk meningkatkan kepercayaan dengan pembuktian atas pengkajian-pengkajian baik melalui rasionalitas, pengalaman empirisme bahkan intuisi.




2.3  Ulasan Materi / Isi Makalah
2.3.1        Asal-usul Berkembangnya Pola Pikir Manusia
Berkembangnya pola berpikir manusia bermula dari rasa ingin tahu tentang hal-hal yang berada di sekitarnya. Manusia mempunyai insting dan kemampuan untuk berfikir yang bekembang. Setelah mereka mengetahui tentang suatu kejadian, mereka juga ingin mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan kejadian tersebut.
Seperti manusia purba zaman dahulu yang hidup di gua-gua atau di atas pohon, karena kemampuan berfikir mereka hanya semata-mata mempertahankan kelestarian hidupnya saja, berbeda dengan manusia zaman sekarang dengan adanya kemajuan teknologi dan sebagainya yang sudah mampu membuat tempat tinggal seperti istana yang gemerlap maupun gedung-gedung yang menjulang tinggi ke langit.
Rasa ingin tahu manusia yang terus berkembang dan seolah-olah tanpa batas itu menimbulkan perbendaharaan pengetahuan pada manusia itu sendiri. Hal ini tidak saja meliputi kebutuhan hidup sehari-hari, seperti bercocok tanam, membuat panah atau tombak untuk berburu, tetapi juga berkembang sampai pada hal-hal yang menyangkut keindahan.
Kemampuan penalaran manusia juga mampu menyebabkan berkembangnya pola pikir dan pengetahuan, dia mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, dan apa yang indah dan apa yang jelek. Dalam hal memilih antara dua unsur tersebut manusia menggunakan pengetahuannya.
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang mengembangkan pengetahuan secara sungguh-sungguh. Binatang juga mempunyai pengetahuan, namun hanya terbatas untuk kelangsungan hidupnya (survival). Manusia mengembangkan pengetahuannya untuk mengatasi kebutuhan kelangsungan hidupnya. Dia memikirkan hal-hal yang baru, menjelajah ufuk baru, karena dia hidup bukan sekadar untuk kelangsungan hidup, namun juga mengembangkan kebudayaan, memberi makna kehidupan, dan masih banyak lagi yang lainnya. Semua itu hakikatnya menyimpulkan bahwa manusia itu dalam hidupnya mempunyai tujuan tertentu yang lebih tinggi dari sekadar kelangsungan hidupnya. Inilah sebabnya manusia mengembangkan pengetahuannya, dan pengetahuan ini jugalah yang mendorong manusia untuk menjadi makhluk yang bersifat khas di muka bumi ini.
Berkembangnya pola pikir dan pengetahuan manusia disebabkan oleh dua hal, pertama: manusia mempunyai bahasa yang mampu untuk mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatar belakangi informasi tersebut. Berbeda dengan seekor rusa yang bisa saja memberi informasi kepada kelompoknya bahwa ada segerombolan srigala datang menyerang, namun bagaimana berkembang bahasanya, dia tidak mampu mengkomunikasikan kepada rusa-rusa yang lainnya, jalan pikiran yang analitis mengenai hal tersebut. Sebab kedua, manusia mampu mengembangkan pengetahuannya dengan cepat dan mantap, adalah kemampuan berpikir menurut suatu alur kerangka berpikir tertentu. Secara garis besar cara berpikir seperti ini disebut penalaran. Binatang mampu berpikir namun tidak mampu berpikir secara nalar. Perbedaan antara profesor nuklir dengan anak kecil yang membangun bom atom dari pasir di playgroup-nya tempat dia melakukan riset terletak pada kemampuannya dalam menalar.
Dua kelebihan inilah yang memungkinkan manusia untuk mengembangkan pengetahuannya yakni bahasa yang bersifat komunikatif dan pikiran yang mampu menalar. Tentu saja tidak semua pengetahuan berasal dari proses penalaran tetapi manusia adalah makhluk yang berfikir, merasa, mengindera, dan totalitas pengetahuannya berasal dari ketiga sumber tersebut, di samping wahyu yang merupakan komunikasi sang pencipta dengan makhluk-nya.


2.3.2        Sejarah Munculnya Mitos dan Metode Ilmiah.
Sebelum filsafat lahir dan berkembang pesat, di Yunani telah berkembang berbagai mitos. Bahkan, filsafat pertama kali dikembangkan melalui jalan mitologis. Mitos-mitos yang berkembang merupakan metode yang di jadikan cara untuk memahami segala sesuatu yang ada. Berbagai pertanyaan muncul atas ketidaktahuan atau kepenasaran manusia atas eksistensi jagat raya ini. Jawabannya hanya ada di dalam mitos. Seperti pertanyaan tentang mengapa tiba-tiba bumi menjadi gelap ketika terjadi gerhana? Sebelum ditemukan jawaban filosofis atau apalagi ilmiah, manusia hanya mampu menjawabnya dengan mitos. Bumi gelap karena digenggam atau ditelan oleh raksasa (buto-jawa) yang sedang marah, sehingga manusia harus berusaha meredakan kemarahannya dengan berbagai cara, misalnya memberi sesajen, meyakini adanya kekuatan lain di luar alam fisik, adanya para dewa dan sebagainya. Khayalan-khayalan itu menjadi “keyakinan” yang membentuk pemahaman normatif tentang setiap keberadaan dan kekuatan yang ada di dalamnya. Sebelum dunia ilmu menyatakan adanya “gerhana bulan atau gerhana matahari”, manusia pada umumnya mendapat jawaban dari berbagai mitos11.
Di antara orang tua kita pun pernah menceritakan tentang anak kecil yang dilarang keluar malam ketika menjelang maghrib. Orang tuanya mengatakan jika anaknya melanggar larangan itu, ia akan dibawa oleh wewe gombel atau kolong wewe. Cerita lainnya, yang di kemukakan oleh Alpian (1992: ix) adalah anak kecil yang merengek minta dipotong kukunya pada sang ibu, lalu ibunya berkata, “tidak boleh memotong kuku menjelang malam, karena akan diterkam harimau.” Tentu saja tidak ada hubungan antara memotong kuku dengan harimau yang akan menerkamnya . Akan tetapi, begitulah cara orang tua melarang anaknya jika akan melakukan sesuatu yang dapat mencelakakan. Menurut kami, zaman dahulu rumah-rumah penduduk masih banyak di hutan yang lebat dan masih banyak harimau atau hewan buas yang lainnya serta belum ada penerangan listrik ketika menjelang malam sehingga semua penduduk akrab dengan realitas tersebut.
Sekarang mari kita renungkan, di dalam kegelapan, anak kecil memotong kukunya, tentu saja membahayakan dirinya, karena kehidupan mereka akrab dengan binatang buas, tentu cara yang efektif adalah dengan mengatakan “jika memotong kuku pada malam hari akan diterkam harimau”.
Betapa cerdasnya masyarakat zaman dulu, yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal apalagi bergelar. Namun ketika cara tersebut digunakan oleh masyarakat modern sekarang yang tidak bertempat tinggal di hutan, malam hari terang benderang dan mengetahui binatang buas semacam harimau setelah berkunjung di kebun binatang, larangan itu terdengar naïf dan takhayul. Padahal masyarakat zaman dulu tidak bermaksud menciptakan takhayul, melainkan berfikir empiris dan cukup logis. Lalu siapa yang menciptakan takhayul dan berbagai mitos, masyarakat zaman dahulu atau masa kini?12.
Cerita yang berdasarkan atas mitos disebut legenda. Mitos timbul disebabkan antara lain oleh keterbatasan alat indera manusia: penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecap, dan perasa. Alat-alat indera tersebut berbeda-beda di antara manusia. Ada yang sangat tajam inderanya, ada yang tidak. Akibat keterbatasan alat indera, maka mungkin saja timbul salah informasi. Dan akibat perbedaan ketajaman alat indera, maka mungkin saja timbul perbedaan informasi. Indera bisa terus dilatih untuk meningkatkan  fungsi dan ketajamannya.
Pada masa itu, mitos masih dapat diterima oleh masyarakat karena: a. keterbatasan pengetahuan yang disediakan oleh keterbatasan penginderaan, baik langsung maupun tidak langsung; b. keterbatasan penalaran manusia pada saat itu; c. terpenuhinya hasrat ingin tahu13.
Perkembangan mitos sampai saat ini masih berlaku dan diyakini oleh sebagian besar masyarakat. Kebanyakan dari mereka adalah mayarakat pedesaan yang masih kental memegang erat hukum adat. Bahkan beberapa kasus, mitos ini masih diakui oleh masyarakat kota. Pengakuan akan adanya mitos, berkembang menjadi sebuah kepercayaan. Dan kepercayaan inilah yang nantinya diambil, difiltrasi, berasimilasi dengan sebuah agama serta menjadi sebuah budaya mayarakat tertentu yang mencoba untuk dilestarikan.
Sebagai contoh mitos yang masih berkembang di masyarakat Indonesia khususnya Jawa adalah selametan atau kenduri. Slametan merupakan bentuk aktivitas sosial berwujud upacara yang dilakukan secara tradisional. Upacara slametan masih dianggap sebagai aktivitas penting untuk mencari keselamatan, ketenangan dan terjadinya keseimbangan kosmos. Keseimbangan kosmos adalah terjaganya hubungan yang harmonis antara mikrokosmos (jagad cilik/dunia bawah meliputi manusia, hewan, tumbuhan) dan makrokosmos (jagad gedhe/dunia atas meliputi Tuhan/Dewa, dan makhluk halus). Dunia bawah berusaha untuk berlindung pada suatu keselamatan, sedangkan dunia atas melindungi dan memberi keselamatan dunia bawah, dengan catatan jika keduanya terjalin harmonisasi. Jika terjadi dis-harmonisasi, maka akan terjadi malapetaka menimpa dunia bawah. Dalam bahasa lain, Geerts menyebutkan, selametan itu mengharmoniskan hubungan antara orang jawa dengan danyang yang menguasai desanya14.
Dalam selametan, kepercayaan mitos merupakan aspek terpenting. Tanpa hadirnya kepercayaan mitos, tentu upacara ini tidak memiliki roh, yang berarti akan mudah ditinggalkan masyarakat pendukungnya. Dengan selametan pula, orang Jawa khususnya atau pendukung selametan menganggap roh-roh orang meninggal dapat diajak berkomunikasi. Hal ini diwujudkan dengan tamu undangan dari upacara selametan dan bentuk makanan yang disajikan yang masih berkaitan dengan komunikasi antara roh orang meninggal dan yang masih hidup. Dengan adanya kepercayaan mitos itulah, selametan menjadi sacral atau disakralkan oleh pendukungnya.

2.3.3        Hubungan antara Mitos dan Metode Ilmiah.
Mitos merupakan cara, atau metode paling dasar yang dipakai oleh manusia zaman dahulu untuk meyakini sebuah kebenaran. Terkadang mitos ini terjadi berulang-ulang sehingga keakuratannya lebih bisa diakui. Jika mitos hanya terjadi sekali atau dua kali, maka manusia zaman itu tidak mempercayai hal tersebut sehingga belum dianggap sebagai sebuah mitos. Adanya peristiwa yang sudah menjadi mitos, memiliki nilai yang dianggap “magis”, sakral dan tak jarang berhubungan dengan hal-hal ghaib.
Sebuah mitos bisa saja berawal dari pengetahuan yang terbatas atas sebuah kejadian. Ia bisa timbul karena hasil penalaran yang bersifat abstrak atas penggunaan rasio. Ia juga bisa beranjak dari kepercayaan akan kejadian alam yang berulang-ulang yang tertangkap oleh indra sehingga bisa saja bersifat empiris. Terkadang pula, mitos adalah berupa hasil intuisi seseorang yang disebarluaskan.
Dengan berkembangnya kemampuan berpikir manusia, disertai dengan penemuan alat-alat penelitian, seperti teropong, lensa pembesar, mikroskop, dan sebagainya, maka manusia semakin terdorong untuk melakukan pengamatan, observasi dan penelitian. Akhirnya, banyak kebenaran baru yang terungkap berdasarkan empirisme tersebut. Adakalanya hasil penemuan empiris bersesuaian dengan mitos yang ada sehingga mendukung adanya mitologi yang berkembang di masyarakat. Dan yang tak jarang pula penemuan empiris tersebut berbeda dengan mitologi yang sudah terlanjur diyakini masyarakat. Hasil penemuan yang berbeda dari pengamatan yang lebih bersifat empiris inilah yang kemudian secara otomatis menolak mitos-mitos dengan berbagai legendanya, dan mereka cenderung untuk mengunakan akal sehat atau rasionya. Maka, dimulailah babak baru penggunaan metode ilmiah sebagai cara untuk mencari kebenaran khusunya kebenaran yang bersifat material dan fisik. Metode ilmiah semakin berkembang dengan ditemukannya kajian-kajian bidang ilmu seperti fisika, biologi, kimia, matematika, kedokteran, dll.
Lantas bagaimana hubungan antara mitos dan metode ilmiah? Apakah keduaanya saling berhubungan; atau justru saling bertolak belakang?
Perlu dicatat bahwa, sebuah metode ilmiah perlu untuk berterimakasih kepada adanya mitos. Adanya metode ilmiah merupakan perkembangan dari kepercayaan yang didasarkan pada mitologi. Mitologi-mitologi yang berkembang telah membuat keharmonisan antara kosmologi. Dan dari kosmologi itulah muncullah ilmu. Ilmu yang muncul merupakan olah dari pola pikir berupa penalaran. Dan penalaran sendiri bagian tak terpisahkan dari hasrat ingin tahu (curiousity).
Singkat kata, antara mitologi atau mitos dengan metode ilmiah sama-sama merupakan sebuah metode atau cara untuk mendapatkan pengetahuan, yang bermula dari keraguan untuk mencapai hakikat ketidakraguan (keyakinan). Bedanya antara mitologi dan metode ilmiah, menurut penulis mencakup dua hal: pertama, waktu terbentuknya mitos dan metode ilmiah berbeda. Bahkan bisa dikatakan, metode ilmiah merupakan kelanjutan dari berkembangnya mitor-mitos tanpa harus menghapus mitos-mitos yang sudah berkembang. Kedua, tingkat keakuratan antara mitos dan metode ilmiah berbeda satu sama lain. Mitos bisa saja dihapus jika kebenaran mitos sudah tidak relevan dengan kehidupan saat ini. Mitos juga bisa ditolak jika kebenarannya sudah terpatahkan dengan adanya metode ilmiah yang lebih akurat kebenarannya untuk mengetahui sebuah pengetahuan. Tapi yang pasti diingat bahwa, keduanya hanyalah metode atau cara mendapatkan pengetahuan. Dan kita wajib berterima kasih pada dua cara tersebut.

2.3.4        Validitas Mitos & Metode Ilmiah sebagai Sumber Pengetahuan dan Sumber Kebenaran
Telah dijelaskan di depan bahwa sebagai ilmu pengetahuan dan kebenaran bermula dari empat sumber, yakni: rasionalisme, empirisme, intuisi dan wahyu. Serta dalam teori kebenaran yakni: koherensi, korespondensi dan pragmatisme. Dari kajian tentang teori dan sumber kebenaran tersebut, maka pertanyaaan berikutnya adalah, apakah antara mitos dan metode ilmiah bisa dimasukkan dalam beberapa kajian teori kebenaran dan sumber pengetahuan tersebut?
Maka menurut kami, antara mitos dan metode ilmiah bisa dimasukkan dalam kedua kategori tersebut untuk beberapa item. Dengan masuknya mitos dan metode ilmiah, maka secara otomatis mereka memiliki kevalidan walaupun tingkat kevalidannya berbeda. Lebih jelasnya perhatikan tabel berikut:

Tabel 1
CAKUPAN TEORI KEBENARAN




TEORI KEBENARAN
MITOS
METODE ILMIAH
HIPOTESA (DUGAAN)
Koherensi
-
Korespondensi
-
-
Pragmatisme

Tabel 2
CAKUPAN SUMBER PENGETAHUAN




SUMBER PENGETAHUAN
MITOS
METODE ILMIAH
HIPOTESA (DUGAAN)
Rasionalisme
 
Empirisme
-
Intuisi
-
-
 
Wahyu
-
 -

Tabel diatas merupakan ‘dugaan’ yang kami usulkan, untuk selanjutnya bisa dilakukan penelitian maupun pembuktian guna mencapai pengalaman yang ‘berbeda’. Dan sebagai pendukung, maka kami masukkan pula unsur hipotesa untuk pengklasifikasian berdasarkan teori kebenaran dan sumber pengetahuan. Sebagai contoh kasus, adalah sebagai berikut:
1.      Mitos. Contoh: Gerhana Bulan.
Ketika terjadi gerhana bulan, bumi yang tadinya terang berubah menjadi gelap karena digenggam atau ditelan oleh raksasa (buto-jawa) yang sedang marah, sehingga manusia harus berusaha meredakan kemarahannya dengan berbagai cara, misalnya memberi sesajen, meyakini adanya kekuatan lain di luar alam fisik, adanya para dewa dan sebagainya. Khayalan-khayalan itu menjadi “keyakinan” yang membentuk pemahaman normatif tentang setiap keberadaan dan kekuatan yang ada di dalamnya. Sebelum dunia ilmu menyatakan adanya “gerhana bulan atau gerhana matahari”, manusia pada umumnya mendapat jawaban dari berbagai mitos.
Dalam setiap gerhana, bulan akan menjadi gelap. Dan bulan juga mengalami gerhana. Maka gerhana bulan akan menjadikan dirinya gelap. Hal ini memenuhi unsur koherensi (konsisten). Di samping itu, ternyata kenyataannya bulan tidak dimakan raksasa ketika gerhana. Ini artinya mitos gerhana bulan tidaklah faktual, tidak sesuai dengan kenyataan. Sehingga, mitos gerhana bulan tidak memenuhi unsur korespondensi. Dari kejadian gerhana bulan tersebut, ternyata masyarakat tidak mendapatkan manfaat kecuali pehamanan yang normatif tentang keberadaan dan kekuatan di dalamnya. Pemahaman normatif tersebut akan membuat masyarakat takut dengan adanya berbagai marabahaya dari kemarahan raksasa, sehingga masyarakat berusaha membuat sesajen. Keyakinan ini masih berkembang pada masyarakat Hindu di Bali. Dalam kaitannya dengan kebenaran mitos, maka unsure pragmatisme hanya berupa keyakinan yang semakin kuat pada pandangan-pandangan subyektif; terlepas keyakinan tersebuat benar atau salah. Sehingga tetap memenuhi unsure pragmatisme subyektif.
Tentang sumber pengetahuan, mitos baik gerhana bulan maupun gerhana matahari tidak bisa diamati secara teliti. Mitos yang ada hanyalah dugaan-dugaan yang berkembang menjadi keyakinan. Keyakinan inilah yang dipertahankan menjadi sebuah ide abstrak. Sehingga mitos gerhana bulan memenuhi kriteria rasionalitas “terbatas” sesuai zamannya. Akan tetapi, karena gerhana bulan tidak bisa diamati secara faktual melainkan hanya dugaan, maka mitos ini tidak memenuhi kriteria empirik. Untuk intuisi, apapun obyeknya bersifat personal sehingga tidak bisa dijadikan dalil shahih (valid). Sedangkan sumber wahyu pada masa mitos terjadi, wahyu belum dan tidak ada.
2.      Metode Ilmiah. Contoh: Gerhana Bulan.
Berbeda dengan mitos, maka metode ilmiah lebih memiliki argumen dalam kaitan dengan teori kebenaran maupun sumber pengetahuan. Sama dengan mitos, gerhana bulan akan mengakibatkan bulan menjadi gelap karena pantulan cahaya matahari ke bulan tertutup total oleh bulan itu sendiri, sehingga bulan menjadi gelap. Sehingga memenuhi teori koherensi (konsisten). Dan menurut metode ilmiah, terjadinya gerhana bulan karena posisi antara bulan, bumi dan matahari pada garis lurus sehingga pantulan cahaya matahari ke bulan terhalang oleh bumi. Dan ini mengandung unsur faktual sehingga memenuhi kriteria korepondensi. Kejadian gerhana bulan juga bisa dimanfaatkan manusia untuk mengukur kadar polusi di udara. Jika bulan semakin merah, maka polusi udara semakin tinggi. Gerhana Bulan juga berfungsi terhadap gaya gravitasi matahari dan bulan terhadap bumi yang menimbulkan pasang laut maksimum. Beberapa fungsi ini memenuhi unsur pragmatisme.
Secara rasional, baik gerhana bulan maupun gerhana matahari terjadi jika antara bumi, bulan dan matahari pada posisi garis lurus, sehingga memungkinkan cahaya matahari tidak sampai ke bulan (gerhana bulan) atau cahaya matahari tidak sampai ke sebagian/seluruh bumi (gerhana matahari). Dan secara empiris, gerhana bulan terjadi karena sinar matahari yang menuju bulan terhalang bumi. Sinar matahari mengarah ke bumi, di belakang bumi terbentuklah bayangan, yakni bayangan gelap total (umbra) serta bayangan redup (penumbra). Gerhana bulan timbul kalau bulan berposisi pada daerah umbra. Kalau bulan berpsisi di daerah penumbra, maka yang terjadi adalah gerhana bulan sebagian. Gerhana bulan terjadi pada malam hari15.
Di samping itu, Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda, “Bahwasanya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah. Allah mempertakutkan hamba-hambaNya dengan keduanya. Gerhana matahari bukanlah karena kematian seseorang atau lahirnya. Maka apabila kamu melihat yang demikian, hendaklah kamu shalat dan berdoa sehingga selesai gerhana”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Dengan dalil yang semakin banyak pada penggunaan metode ilmiah dibandingkan mitos, maka dalam proses terjadinya gerhana bulan, kevalidan metode ilmiah lebih diakui ketimbang mitos itu sendiri. Hal ini bisa dilihat dari hasil pengklasifikasian antara mitos dan metode ilmiah dengan sumber pengetahuan serta teori kebenran diatas. Mitos bisa diakui kebenarannya berdasarkan 3 dari 7 klasifikasi yakni, koherensi, pragmatisme dan rasio. Ini sama dengan 43%, artinya tingkat keabsahan kebenaran mitos maksimal adalah sekitar 43 %; selebihnya 57 % mitos adalah tidak abash/valis. Sedangkan metode bisa diakui kebenarannya berdasarkan 5 dari 7 klasifikasi yakni, koherensi, korespondensi, pragmatism, rasio dan empirisme. Ini sama dengan 71%, artinya tingkat kebenaran metode ilmiah maksimal adalah sekitar 71 %; selebihnya 29 % metode ilmiah adalah tidak absah. Ketidakabsahan mitos dan metode ilmiah biasanya ketika menjelaskan tentang ontology mistisisme (dunia ghaib).
Selain kasus tentang terjadinya gerhana, hal ini umumnya juga berlaku untuk kejadian-kejadian alam, sosial dan kebudayaan yang lain seperti: jatuhnya benda dari atas ke bawah, munculnya pelangi, adanya Dewi Sri dan Dewi Padi, terjadinya mendung disertai hujan, perhitungan neptu (weton), dll.
3.      Hipotesa. Untuk hipotesa, kami tidak akan membahasnya disini. Hipotesa hanyalah sebagai penjembatan antara mitos yang belum pasti kebenarannya dengan metode ilmiah yang tingkat kebenarannya lebih besar ketimbang mitos.

2.4  Penyelesaian Masalah
Diakui atau tidak, mitologi telah membawa pengaruh bagi kehidupan manusia. Melalui proses yang panjang, bahkan mitologi masih menjadi sebuah cara sebagai pedoman untuk mencari kebenaran, bahkan mitologi sudah menjadi kepercayaan untuk sebuah agama.
Belakangan, pergulatan antara mitos dan metode ilmiah telah berujung pada pertentangan yang sangat tajam. Bahkan kedua alat tersebut telah mengantarakan pada kepercayaan yang bertentangan dengan penguasa-penguasa zaman dahulu. Sehingga banyak dari ilmuan-ilmuan yang dipenjara bahkan sampai dieksekusi mati karena mempertahankan kepercayaannya yang bertentangan dengan kekuasaan, terlepas dari mitos atau metode ilmiah yang diapakai antara keduanya.
Untuk menyikapi perkembangan mitos dan metode ilmiah, maka ada beberapa hal yang perlu ditekankan, diantaranya:
1.      Keduanya merupakan metode dalam menggali ilmu pengetahuan dan mengetahui sebuah kebenaran, sesuai dengan tingkat perkembangan manusia itu sendiri.
2.      Kedua metode tersebut setidaknya pernah mengalami masa kejayaan pada zamannya masing-masing, khususnya metode ilmiah yang sedang mendapatkan masa kejayaan sampai saat ini.
3.      Mitos dan metode ilmiah bermula dari keragu-raguan, sehingga banyak menggunakan penalaran (rasio) dan pengalaman empiris; merupakan produk berfikir yang merupakan ikhtiar untuk mencari hakikat kebenaran (metode ikhtiyari). Hal ini sedikit berbeda dengan pembuktian melalui wahyu yang sifatnya “pasti benar” yang merupakan pemberian (ilham) yang harus diyakini untuk selanjutnya mungkin saja dibuktikan untuk memperkuat keyakinan akan kebenaran yang sudah diberikan (metode ilhami).
4.      Dalam kaitan dengan kepercayaan, maka mitologi dan metode ilmiah masih memiliki pendukungnya masing-masing dengan dalil dan argument yang kuat.
5.      Dalam kaitan dengan agama-agama, maka perlu adanya penyaringan berdasarkan kitab suci sebagai kosntitusi sebuah agama.
6.      Dalam kaitan dengan agama-agama, penggunaan metode ilhami (wahyu) harus lebih diutamakan serta mengalahkan metode ikhtiyari (mitos dan metode ilmiah).
7.      Dalam kaitan dengan agama Islam, maka perlu adanya penyaringan dan pemilahan, karena yang menjadi sumber utama kebenaran bukan saja berupa produk berfikir (Ijma dan Qiyas) yang dipresentasikan dengan mitologi maupun metode ilmiah (keduanya menggunakan rasio/penalaran dan pengalaman empiris), melainkan juga wahyu yang sangat penting (Al Quran dan Hadits).


BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Perkembangan pola pikir manusia berawal dari rasa ingin tahu terhadap fenomena alam. serta penalaran dan bahasa yang komunikatif untuk mendapatkan pengetahuan. Manusia juga makhluk yang berfikir, merasa, mengindera, dan mendapatkan ilham dari sang pencipta.
Masyarakat zaman dahulu kental dengan kehidupan yang bersifat ghaib dan mereka  berkecimpung dengan alam, sehingga melahirkan suatu kepercayaan. Mitos adalah keyakinan manusia yang disandarkan pada cerita misteri dan para dewa zaman dahulu. Metode ilmiah adalah suatu cara teratur yang saling berkaitan untuk memudahkan dalam mencapai totalitas suatu tujuan.
Munculnya metode ilmiah sejak tahun sebelum masehi hingga sekarang ini. majunya ilmu tekhnologi, informasi, dan komunikasi lambat laun merubah mitos-mitos yang ada dalam masyarakat khususnya di pulau jawa.
Kevalidan mitos dan metode ilmiah sebagai sumber pengetahuan dan kebenaran dapat dipertanggung jawabkan. Keduanya berhubungan sangat mesra. Karena adanya mitos, manusia menjadi terdorong untuk mencari pengetahuan sebenarnya dengan meneliti kebenarannya sehingga menyebabkan munculnya metode ilmiah. metode ilmiah mempunyai dua peran penting terhadap mitos, yaitu ; 1) sebagai penguat argumentasi dari mitos yang ada. 2) menggeser mitos yang sudah tidak berlaku tanpa menghilangkan nilai-nilainya.   
.  
3.2  Saran
Sedikit penjelasan mengenai perkembangan pola pikir masyarakat dari mitos sampai metode ilmiah, semoga bisa bermanfaat bagi segenap pembaca. Kami mohon maaf apabila ada kesalahan baik berupa penulisan maupun pembahasan di atas karena keterbatasan pengetahuan. Kiranya kritik dan saran yang membangun sangat kami perlukan untuk perbaikan penulisan makalah ini ke depan. Sekian, dan Wallahu ‘Alam bish showab.

CATATAN KAKI

1      Drs. Atang Abdul Hakim, M.A., Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si. Filsafat Umum, Dari Metodologi sampai Teofilosofi. Bandung: CV Pustaka Setia, Cet.X, Cet.I, 2008; halaman39.
2      Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamusku Indonesia Balai Pustaka. Apl. Android oleh Kodelokus Cipta Aplikasi, Bandung, Ed. Revisi. 2014.
3      Ibid.
4      Anton Bakker, 1984, hlm. 10 dalam Drs. Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: PT Bumi Aksara, Cet.I, 2005; halaman 7-8.
5      Ibid… Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa….
6      Ibid.
7      Ibid.
8      Soejono Soemargono, 1983, hlm. 13-16 dalam Drs. Surajiwo…, halaman 67-68.
9      Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, Cet.XXI, 2009; halaman 55-59.
10   Ibid; halaman 50-54.
11   Drs. Atang Abdul Hakim…; halaman 39.
12   Drs. Atang Abdul Hakim…; halaman 39-40.
13   Drs. Mawardi, Ir. Nur Hidayati, Ilmu Alamiah Dasar, Ilmu Sosial Dasar, Ilmu Budaya Dasar (IAD, ISD, IBD). Bandung: CV Pustaka Setia, Cet.VI, 2009; halaman. 13-15.
14   Bayuadhy, Gesta, “Tradisi-Tradisi Adiluhung Para Leluhur Jawa, Melestarikan Berbagai Tradisi Jawa Penuh Makna. Yogyakarta: DIPTA, Cet. I, 2015.
16   Al Quran; Surat Al Qiyamah, 75: 8-9.






















DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi, Prof, DR, M.A, Menuju Masyarakat Madani, Gagasan, Fakta dan Tantangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet.II, 2000.
Bayuadhy, Gesta, “Tradisi-Tradisi Adiluhung Para Leluhur Jawa, Melestarikan Berbagai Tradisi Jawa Penuh Makna. Yogyakarta: DIPTA, Cet.I, 2015.
Durkheim, Emile, The Elementary Forms of The Religious Life, Sejarah Bentuk-Bentuk Agama yang Paling Dasar (Edisi Baru). Terj. Inyiak Ridwan Muzir dkk. Yogyakarta: IRCiSoD, Cet.I, 2011.
Hakim, Atang Abdul, Drs., M.A., Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si. Filsafat Umum, Dari Metodologi sampai Teofilosofi. Bandung: CV Pustaka Setia, Cet.X, Cet.I 2008.
Khaldun, Ibnu, Mukaddimah. Terj. Masturi Ilham dkk. Jakarta Timur: Pustaka Al Kautsar, Cet.I, 2011.
Mawardi, Drs., Nur Hidayati, Ir., Ilmu Alamiah Dasar, Ilmu Sosial Dasar, Ilmu Budaya Dasar (IAD, ISD, IBD). Bandung: CV Pustaka Setia, Cet.VI, 2009.
Supriyadi, Dedi, M.Ag, Pengantar Filsafat Islam (Lanjutan) Teori dan Praktik. Bandung: CV Pustaka Setia, Cet.I, 2010.
Surajiyo, Drs., Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: PT Bumi Aksara, Cet.I, 2005.
Suriasumantri, Jujun S, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, Cet.XXI, 2009.
Sutiyono, Dr., “Poros Kebudayaan Jawa”. Yogyakarta: Graha Ilmu, Ed.01, 2013.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamusku Indonesia Balai Pustaka. Apl. Android oleh Kodelokus Cipta Aplikasi, Bandung, Ed. Revisi. 2014.

Tidak ada komentar: