Perkembangan
Pola Pikir Manusia Dari Mitos Sampai Metode Ilmiah
Untuk
memenuhi tugas Mata Kuliah Ilmu Budaya Dasar, Ilmu Sosial Dasar
dan
Ilmu Alamiyah Dasar
Disusun Oleh:
Puput Bariadi
Mohamad Ali Musthofa
STAI KHOZINATUL ULUM BLORA
2015/2016 M.
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Seiring
perkembangan zaman yang semakin modern dan maju, pemikiran manusia menjadi semakin
ilmiah dari awalnya yang hanya sebuah kepercayaan yang dainggap benar, padahal
hakikatnya kejadian itu belum bisa dipertanggungjawabkan keabsahanya. Mayoritas
manusia zaman dahulu, proses berfikir logis dan rasional sangatlah terbatas,
sehingga melahirkan suatu kepercayaan yang pada dasarnya tidak sesuai dengan
metode ilmiah. Karena mereka menganggap bahwasanya apa yang diyakini itu benar,
sehingga hal itu menjadi suatu kebudayaan dan adat istiadat yang turun-menurun
dalam masyarakat yang belakangan kita kenal sebagai mitos. Seperti orang tua
yang menegur anaknya ketika ingin keluar malam, karena orang tua tersebut takut
jikalau anaknya terkena bahaya sehingga mengatakan kalau keluar malam nanti
akan dibawa wewe gombel, dan ribuan mitos yang lain.
Namun, pola
berpikir manusia dalam kehidupannya sekarang ini lambat laun telah berubah,
dari adat kepercayaan yang membudaya menjadi suatu ilmu pengetahuan yang bisa
dipertanggung jawabkan kebenarannya. Kemajuan ini didorong oleh beberapa
faktor, antara lain adalah rasa ingin tahu. Dengan rasa ingin tahu, telah menggerakkan
manusia itu untuk lebih berfikir, bertindak, dan menganalisa suatu kejadian
yang semula hanyalah sebuah mitos masyarakat, menjadi suatu ilmu pengetahuan.
Walaupun pola
pikir manusia di dunia ini sudah mengalami kemajuan, dari kepercayaan suatu
mitos menjadi metode pengetahuan ilmiah, tetapi tidak sedikit sekelompok masyarakat
yang masih mempercayai mitos sebagai suatu kebenaran yang hakiki. Maka dari
itu, kami rasa sangatlah perlu mengangkat judul ini sebagai suatu pembahasan
yang dapat memberikan pemahaman tentang kemajuan pola pikir manusia dari mitos
sampai metode ilmiah.
1.2
Rumusan Masalah
1.2.1
Bagaimana asal-usul berkembangnya pola pikir manusia?
1.2.2
Bagaimana sejarah munculnya mitos dan metode ilmiah?
1.2.3
Bagaimana hubungan antara mitos dan metode ilmiah?
1.2.4
Apakah validitas mitos & metode ilmiah bisa dipertanggung-jawabkan
sebagai sumber pengetahuan dan sumber kebenaran?
1.3
Tujuan & Manfaat Penulisan
1.3.1
Mengetahui asal-usul perkembangan pola pikir manusia.
1.3.2
Mengetahui pengertian mitos dan metode ilmiah.
1.3.3
Mengetahui hubungan antara mitos dan metode ilmiah.
1.3.4
Mengetahui validitas mitos & metode ilmiah sebagai sumber pengetahuan dan sumber kebenaran.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian / Definisi
2.1.1
Definisi Mitos
Mitologi berasal dari kata “mite”
atau “mitos”1 dan “logos”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), mitos adalah cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan zaman
dahulu, mengandung penafsiran tentang asal-usul semesta alam, manusia, dan
bangsa tersebut mengandung arti mendalam yang diungkapkan dengan cara gaib2.
Mitologi adalah Ilmu yang mempelajari tentang mitos. Lebih lengkapnya mitologi
merupakan ilmu tentang bentuk sastra yang mengandung konsepsi dan dongeng
suci mengenai kehidupan dewa dan makhluk halus di suatu kebudayaan3.
2.1.2
Definisi Metode Ilmiah
Metode
ilmiah tersusun dari dua kata, yakni metode dan ilmiah. Metode berasal dari
kata Yunani, methodos, sambungan kata depan meta (menuju, melalui, mengikuti,
sesudah) dan kata benda hodos (jalan, perjalanan, cara, arah). Kata methodos
sendiri berarti penelitian, metode ilmiah, hipotesis ilmiah, uraian ilmiah.
Metode ialah cara bertindak menurut sistem alur tertentu4.
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), metode adalah cara teratur yang digunakan
untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang
dikehendaki; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu
kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan5. Sedangkan ilmiah
adalah bersifat ilmu; secara ilmu pengetahuan; memenuhi syarat (kaidah) ilmu
pengetahuan6. Jadi, metode ilmiah adalah pendekatan atau cara yang
dipakai dalam penelitian suatu ilmu7.
Menurut
Soejono Soemargono (1983), metode ilmiah secara garis besar ada dua macam:
Pertama, Metode ilmiah yang bersifat umum; Kedua, Metode Penyelidikan Ilmiah.
Pertama, Metode ilmiah bersifat umum dibagi dua, metode analitiko-sintesa
(gabungan metode analisis dan sintesa) dan metode non deduksi (gabungan metode
deduksi dan induksi).
Metode
analisis ialah cara penanganan terhadap suatu obyek ilmiah tertentu dengan
jalan ‘memilah-milahkan’ pengertian yang satu dengan pengertian yang lain.
Metode sintesa ialah cara penanganan terhadap suatu obyek tertentu dengan
‘menggabungkan’ pengertian yang satu dengan pengertian yang lain.
Metode
deduksi ialah cara penanganan terhadap sesuatu objek tertentu dengan jalan
menarik kesimpulan mengenai hal-hal yang bersifat khusus berdasarkan atas
ketentuan hal-hal yang bersifat umum. Sedangkan metode induksi ialah cara
penanganan terhadap sesuatu objek tertentu dengan jalan menarik kesimpulan yang
bersifat umum atau bersifat lebih umum berdasarkan atas pemahaman atau
pengamatan terhadap sejumlah hal yang bersifat khusus8.
2.2
Landasan Teori
2.2.1
Teori Kebenaran9
Jujun S.
Suriasumantri membagi teori kebenaran menjadi 3:
a.
Teori Koherensi
Berdasarkan teori koherensi, suatu pernyataan dianggap benar bila
pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan
sebelumnya yang dianggap benar. Bila kita menganggap bahwa “semua manusia pasti
akan mati” adalah suatu penyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “Si Fulan
adalah seorang manusia dan Si Fulan pasti akan mati” adalah benar pula sebab
pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan pertama. Teori ini pada
mulanya didukung oleh Plato dan Aristoteles.
b.
Teori Korespondensi
Pada teori korespondensi, suatu pernyataan adalah benar jika materi
pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan
obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Jika seseorang mengatakan bahwa
“Ibukota Republik Indonesia adalah Jakarta”, maka pernyataan itu adalah benar
sebab pernyataan itu dengan obyek yang bersifat faktual yakni Jakarta yang
memang menjadi Ibukota Republik Indonesia. Berbeda jika seseorang mengatakan
bahwa, “Ibukota Republik Indonesia adalah Bandung”, maka pernyataan itu adalah
tidak benar sebab tidak sesuai dengan obyek faktual. Secara faktual, Ibukota
Repubik Indonesia adalah Jakarta, bukan Bandung. Teori ini dikembangkan oleh
Bertrand Russell (1872-1970).
c.
Teori Pragmatis
Bagi seorang pragmatis, maka kebenaran suatu pernyataan diukur
dengan kriteria, apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan
praktis. Artinya, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau
konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan
manusia. Pragmatisme merupakan teori dalam penentuan kriteria
kebenaran. Kaum pragmatis berpaling kepada metode ilmiah sebagai metode untuk
mencari pengetahuan tentang alam ini yang dianggapnya fungsional dan berguna
dalam menafsirkan gejala-gejala alamiyah. Teori ini dicetuskan oleh Charles S. Pierce (1839-1914),
dan dikembangkan oleh ahli filsafat antara lain William James
(1863-1931), John Dewey (1859-1952), George Herbert Mead (1863-1931) dan C.I.
Lewis.
2.2.2
Sumber Pengetahuan10
Masih menurut Jujun
S. Suriasumantri, ada dua cara pokok dan dua cara lain (empat cara) bagi manusia untuk
mendapatkan pengetahuan yang benar, yakni:
a. Rasio/Penalaran
Kaum
rasionalis menggunakan metode deduktif dalam menyusun pengetahuannya. Premis
yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari ide yang menurut anggapannya
jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukanlah ciptaan pikiran
manusia. Fungsi pikiran manusia hanyalah mengenali prinsip tersebut yang lalu
menjadi pengetahuannya. Paham inilah yang dinamakan idealisme. Ide bagi
kaum rasionalis adalah bersifat apriori dan pra-pengalaman yang didapatkan
manusia lewat penalaran rasional. Pengalaman tidaklah membuahkan prinsip dan
justru sebaliknya, hanya dapat mengetahui prinsip yang didapat lewat penalaran
rasional itulah maka kita dapat mengerti kejadian-kejadian yang berlaku dalam
alam sekitar kita.
b. Pengalaman
Empiris
Berlainan
dengan kaum rasionalis, maka kaum empiris berpendapat bahwa pengetahuan manusia
itu bukan didapatkan lewat penalaran rasional yang abstrak, namun lewat
pengalaman yang konkret. Gejala-gejala alamiyah adalah besifat konkret
dan dapat dinyatakan lewat tangkapan pancaindera manusia. Sebagai contoh, suatu
benda padat jika dipanaskan akan memuai/memanjang. Langit mendung disertai
dengan turunnya hujan. Demikian seterusnya dimana pengamatan kita akan
membuahkan pengetahuan mengenai berbagai gejala yang mengikuti pola tertentu.
Kita juga melihat adanya karakteristik lain yakni adanya kesamaan dan
pengulangan atas peristiwa tersebut atau peristiwa lain yang sejenis, semisal
logam lain. Kaum empiris menganggap bahwa dunia fisik adalah nyata karena
merupakan gejala yang tertangkap oleh panca indera.
c. Intuisi
Intuisi
merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu.
Intuisi bersifat personal dan tidak bisa diramalkan. Seseorang yang
sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah tiba-tiba saja menemukan
jawaban atas permasalahan tersebut. Jawaban atas permasalahan yang sedang
difikirkannya muncul di benakknya bagaikan kebenaran yang membukakan pintu.
Intuisi bekerja dalam keadaan tidak sepenuhnya sadar, artinya tidak ada ikhtiar
untuk mendapatkan jawaban melalui intuisi. Pengetahuan intuitif dapat
dipergunakan sebagai hipotesis bagi analisis selanjutnya dalam menentukan benar
dan tidaknya pernyataan yang dikemukakannya.
d. Wahyu
Wahyu
merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada manusia. Pengetahuan ini
disalurkan lewat nabi-nabi yang diutusnya sepanjang zaman. Kepercayaan kepada
Tuhan yang merupakan sumber pengetahuan, kepercayaan kepada nabi sebagai
perantara dan kepercayaan terhadap wahyu sebagai cara penyampaian, merupakan
dasar dari penyusunan pengetahuan ini. Berbeda dengan filsuf Rene Descartes
yang memulai meragukan sesuatu untuk mencapai pengetahuan dan kebenaran, maka
wahyu yang diwakili lewat agama dimulai dengan rasa percaya, dan lewat
pengkajian selanjutnya untuk meningkatkan kepercayaan dengan pembuktian atas
pengkajian-pengkajian baik melalui rasionalitas, pengalaman empirisme bahkan
intuisi.
2.3
Ulasan Materi / Isi Makalah
2.3.1
Asal-usul Berkembangnya Pola Pikir Manusia
Berkembangnya
pola berpikir manusia bermula dari rasa ingin tahu tentang hal-hal yang berada
di sekitarnya. Manusia mempunyai insting dan kemampuan untuk berfikir
yang bekembang. Setelah mereka mengetahui tentang suatu kejadian, mereka juga
ingin mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan kejadian tersebut.
Seperti manusia purba zaman dahulu yang hidup di gua-gua
atau di atas pohon, karena kemampuan berfikir mereka hanya semata-mata
mempertahankan kelestarian hidupnya saja, berbeda dengan manusia zaman sekarang
dengan adanya kemajuan teknologi dan sebagainya yang sudah mampu membuat tempat
tinggal seperti istana yang gemerlap maupun gedung-gedung yang menjulang tinggi
ke langit.
Rasa
ingin tahu manusia yang terus berkembang dan seolah-olah tanpa batas itu
menimbulkan perbendaharaan pengetahuan pada manusia itu sendiri. Hal ini tidak
saja meliputi kebutuhan hidup sehari-hari, seperti bercocok tanam, membuat
panah atau tombak untuk berburu, tetapi juga berkembang sampai pada hal-hal
yang menyangkut keindahan.
Kemampuan
penalaran manusia juga mampu menyebabkan berkembangnya pola pikir dan
pengetahuan, dia mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik
dan mana yang buruk, dan apa yang indah dan apa yang jelek. Dalam hal memilih
antara dua unsur tersebut manusia menggunakan pengetahuannya.
Manusia
adalah satu-satunya makhluk yang mengembangkan pengetahuan secara
sungguh-sungguh. Binatang juga mempunyai pengetahuan, namun hanya terbatas
untuk kelangsungan hidupnya (survival). Manusia mengembangkan pengetahuannya
untuk mengatasi kebutuhan kelangsungan hidupnya. Dia memikirkan hal-hal yang
baru, menjelajah ufuk baru, karena dia hidup bukan sekadar untuk kelangsungan
hidup, namun juga mengembangkan kebudayaan, memberi makna kehidupan, dan masih
banyak lagi yang lainnya. Semua itu hakikatnya menyimpulkan bahwa manusia itu
dalam hidupnya mempunyai tujuan tertentu yang lebih tinggi dari sekadar kelangsungan
hidupnya. Inilah sebabnya manusia mengembangkan pengetahuannya, dan pengetahuan
ini jugalah yang mendorong manusia untuk menjadi makhluk yang bersifat khas di
muka bumi ini.
Berkembangnya pola pikir dan pengetahuan manusia disebabkan
oleh dua hal, pertama: manusia mempunyai bahasa yang mampu untuk
mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatar belakangi informasi
tersebut. Berbeda dengan seekor rusa yang bisa saja memberi informasi kepada
kelompoknya bahwa ada segerombolan srigala datang menyerang, namun bagaimana
berkembang bahasanya, dia tidak mampu mengkomunikasikan kepada rusa-rusa yang
lainnya, jalan pikiran yang analitis mengenai hal tersebut. Sebab kedua, manusia mampu
mengembangkan pengetahuannya dengan cepat dan mantap, adalah kemampuan berpikir
menurut suatu alur kerangka berpikir tertentu. Secara garis besar cara berpikir
seperti ini disebut penalaran. Binatang mampu berpikir namun tidak mampu
berpikir secara nalar. Perbedaan antara profesor nuklir dengan anak kecil yang
membangun bom atom dari pasir di playgroup-nya tempat dia melakukan riset
terletak pada kemampuannya dalam menalar.
Dua
kelebihan inilah yang memungkinkan manusia untuk mengembangkan pengetahuannya
yakni bahasa yang bersifat komunikatif dan pikiran yang mampu menalar. Tentu
saja tidak semua pengetahuan berasal dari proses penalaran tetapi manusia
adalah makhluk yang berfikir, merasa, mengindera, dan totalitas pengetahuannya
berasal dari ketiga sumber tersebut, di samping wahyu yang merupakan komunikasi
sang pencipta dengan makhluk-nya.
2.3.2
Sejarah Munculnya Mitos dan Metode Ilmiah.
Sebelum
filsafat lahir dan berkembang pesat, di Yunani telah berkembang berbagai mitos.
Bahkan, filsafat pertama kali dikembangkan melalui jalan mitologis. Mitos-mitos
yang berkembang merupakan metode yang di jadikan cara untuk memahami segala
sesuatu yang ada. Berbagai pertanyaan muncul atas ketidaktahuan atau
kepenasaran manusia atas eksistensi jagat raya ini. Jawabannya hanya ada di
dalam mitos. Seperti pertanyaan tentang mengapa tiba-tiba bumi menjadi gelap
ketika terjadi gerhana? Sebelum ditemukan jawaban filosofis atau apalagi
ilmiah, manusia hanya mampu menjawabnya dengan mitos. Bumi gelap karena digenggam
atau ditelan oleh raksasa (buto-jawa) yang sedang
marah, sehingga manusia harus berusaha meredakan kemarahannya dengan berbagai
cara, misalnya memberi sesajen, meyakini adanya kekuatan lain di luar alam
fisik, adanya para dewa dan sebagainya. Khayalan-khayalan itu menjadi
“keyakinan” yang membentuk pemahaman normatif
tentang setiap keberadaan dan kekuatan yang ada di dalamnya. Sebelum dunia ilmu
menyatakan adanya “gerhana bulan atau gerhana matahari”, manusia pada umumnya
mendapat jawaban dari berbagai mitos11.
Di
antara orang tua kita pun pernah menceritakan tentang anak kecil yang dilarang
keluar malam ketika menjelang maghrib. Orang tuanya mengatakan jika anaknya
melanggar larangan itu, ia akan dibawa oleh wewe gombel atau kolong wewe.
Cerita lainnya, yang di kemukakan oleh Alpian
(1992: ix) adalah anak kecil yang merengek minta dipotong kukunya pada sang
ibu, lalu ibunya berkata, “tidak boleh memotong kuku menjelang malam, karena
akan diterkam harimau.” Tentu saja tidak ada hubungan antara memotong kuku
dengan harimau yang akan menerkamnya . Akan tetapi, begitulah cara orang tua
melarang anaknya jika akan melakukan sesuatu yang dapat mencelakakan. Menurut kami, zaman dahulu rumah-rumah penduduk masih
banyak di hutan yang lebat dan masih banyak harimau atau hewan buas yang
lainnya serta belum ada penerangan listrik ketika menjelang malam sehingga
semua penduduk akrab dengan realitas tersebut.
Sekarang mari kita renungkan, di dalam kegelapan, anak
kecil memotong kukunya, tentu saja membahayakan dirinya, karena kehidupan
mereka akrab dengan binatang buas, tentu cara yang efektif adalah dengan
mengatakan “jika memotong kuku pada malam hari akan diterkam harimau”.
Betapa
cerdasnya masyarakat zaman dulu, yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal
apalagi bergelar. Namun ketika cara tersebut digunakan oleh masyarakat modern
sekarang yang tidak bertempat tinggal di hutan, malam hari terang benderang dan
mengetahui binatang buas semacam harimau setelah berkunjung di kebun binatang,
larangan itu terdengar naïf dan takhayul. Padahal masyarakat zaman dulu tidak
bermaksud menciptakan takhayul, melainkan berfikir empiris dan cukup logis.
Lalu siapa yang menciptakan takhayul dan berbagai mitos, masyarakat zaman
dahulu atau masa kini?12.
Cerita
yang berdasarkan atas mitos disebut legenda. Mitos timbul disebabkan antara
lain oleh keterbatasan alat indera manusia: penglihatan, pendengaran,
penciuman, pengecap, dan perasa. Alat-alat indera tersebut berbeda-beda
di antara manusia. Ada yang sangat tajam inderanya, ada yang tidak. Akibat
keterbatasan alat indera, maka mungkin saja timbul salah informasi. Dan akibat
perbedaan ketajaman alat indera, maka mungkin saja timbul perbedaan informasi.
Indera bisa terus dilatih untuk meningkatkan
fungsi dan ketajamannya.
Pada masa itu, mitos masih dapat diterima oleh masyarakat
karena: a. keterbatasan pengetahuan yang disediakan oleh keterbatasan
penginderaan, baik langsung maupun tidak langsung; b. keterbatasan penalaran
manusia pada saat itu; c. terpenuhinya hasrat ingin tahu13.
Perkembangan
mitos sampai saat ini masih berlaku dan diyakini oleh sebagian besar
masyarakat. Kebanyakan dari mereka adalah mayarakat pedesaan yang masih kental
memegang erat hukum adat. Bahkan beberapa kasus, mitos ini masih diakui oleh
masyarakat kota. Pengakuan akan adanya mitos, berkembang menjadi sebuah
kepercayaan. Dan kepercayaan inilah yang nantinya diambil, difiltrasi,
berasimilasi dengan sebuah agama serta menjadi sebuah budaya mayarakat tertentu
yang mencoba untuk dilestarikan.
Sebagai
contoh mitos yang masih berkembang di masyarakat Indonesia khususnya Jawa
adalah selametan atau kenduri. Slametan merupakan bentuk aktivitas sosial
berwujud upacara yang dilakukan secara tradisional. Upacara slametan masih
dianggap sebagai aktivitas penting untuk mencari keselamatan, ketenangan dan
terjadinya keseimbangan kosmos. Keseimbangan kosmos adalah terjaganya hubungan
yang harmonis antara mikrokosmos (jagad cilik/dunia bawah meliputi manusia,
hewan, tumbuhan) dan makrokosmos (jagad gedhe/dunia atas meliputi Tuhan/Dewa,
dan makhluk halus). Dunia bawah berusaha untuk berlindung pada suatu
keselamatan, sedangkan dunia atas melindungi dan memberi keselamatan dunia
bawah, dengan catatan jika keduanya terjalin harmonisasi. Jika terjadi dis-harmonisasi,
maka akan terjadi malapetaka menimpa dunia bawah. Dalam bahasa lain, Geerts
menyebutkan, selametan itu mengharmoniskan hubungan antara orang jawa dengan
danyang yang menguasai desanya14.
Dalam
selametan, kepercayaan mitos merupakan aspek terpenting. Tanpa hadirnya
kepercayaan mitos, tentu upacara ini tidak memiliki roh, yang berarti akan
mudah ditinggalkan masyarakat pendukungnya. Dengan selametan pula, orang Jawa
khususnya atau pendukung selametan menganggap roh-roh orang meninggal dapat
diajak berkomunikasi. Hal ini diwujudkan dengan tamu undangan dari upacara
selametan dan bentuk makanan yang disajikan yang masih berkaitan dengan
komunikasi antara roh orang meninggal dan yang masih hidup. Dengan adanya
kepercayaan mitos itulah, selametan menjadi sacral atau disakralkan oleh
pendukungnya.
2.3.3
Hubungan antara Mitos dan Metode Ilmiah.
Mitos
merupakan cara, atau metode paling dasar yang dipakai oleh manusia zaman dahulu
untuk meyakini sebuah kebenaran. Terkadang mitos ini terjadi berulang-ulang
sehingga keakuratannya lebih bisa diakui. Jika mitos hanya terjadi sekali atau
dua kali, maka manusia zaman itu tidak mempercayai hal tersebut sehingga belum
dianggap sebagai sebuah mitos. Adanya peristiwa yang sudah menjadi mitos,
memiliki nilai yang dianggap “magis”, sakral dan tak jarang berhubungan dengan
hal-hal ghaib.
Sebuah mitos bisa saja berawal dari pengetahuan yang
terbatas atas sebuah kejadian. Ia bisa timbul karena hasil penalaran yang
bersifat abstrak atas penggunaan rasio. Ia juga bisa beranjak dari kepercayaan
akan kejadian alam yang berulang-ulang yang tertangkap oleh indra sehingga bisa
saja bersifat empiris. Terkadang pula, mitos adalah berupa hasil intuisi
seseorang yang disebarluaskan.
Dengan berkembangnya
kemampuan berpikir manusia, disertai dengan penemuan alat-alat penelitian,
seperti teropong, lensa pembesar, mikroskop, dan sebagainya, maka manusia
semakin terdorong untuk melakukan pengamatan, observasi dan penelitian.
Akhirnya, banyak kebenaran baru yang terungkap berdasarkan empirisme tersebut. Adakalanya hasil penemuan empiris bersesuaian
dengan mitos yang ada sehingga mendukung adanya mitologi yang berkembang di
masyarakat. Dan yang tak jarang pula penemuan empiris tersebut berbeda dengan
mitologi yang sudah terlanjur diyakini masyarakat. Hasil penemuan yang berbeda
dari pengamatan yang
lebih bersifat empiris inilah yang kemudian secara otomatis menolak mitos-mitos
dengan berbagai legendanya, dan mereka
cenderung untuk mengunakan akal sehat atau rasionya. Maka, dimulailah babak
baru penggunaan metode ilmiah sebagai cara untuk mencari kebenaran khusunya
kebenaran yang bersifat material dan fisik. Metode ilmiah semakin berkembang
dengan ditemukannya kajian-kajian bidang ilmu seperti fisika, biologi, kimia,
matematika, kedokteran, dll.
Lantas
bagaimana hubungan antara mitos dan metode ilmiah? Apakah keduaanya saling
berhubungan; atau justru saling bertolak belakang?
Perlu
dicatat bahwa, sebuah metode ilmiah perlu untuk berterimakasih kepada adanya
mitos. Adanya metode ilmiah merupakan perkembangan dari kepercayaan yang
didasarkan pada mitologi. Mitologi-mitologi yang berkembang telah membuat
keharmonisan antara kosmologi. Dan dari kosmologi itulah muncullah ilmu. Ilmu
yang muncul merupakan olah dari pola pikir
berupa penalaran. Dan penalaran sendiri bagian tak terpisahkan dari hasrat
ingin tahu (curiousity).
Singkat kata, antara mitologi atau mitos dengan metode
ilmiah sama-sama merupakan sebuah metode atau cara untuk mendapatkan
pengetahuan, yang bermula dari keraguan untuk mencapai hakikat ketidakraguan
(keyakinan). Bedanya antara
mitologi dan metode ilmiah, menurut penulis mencakup dua hal: pertama, waktu
terbentuknya mitos dan metode ilmiah berbeda. Bahkan bisa dikatakan, metode
ilmiah merupakan kelanjutan dari berkembangnya mitor-mitos tanpa harus
menghapus mitos-mitos yang sudah berkembang. Kedua, tingkat keakuratan antara
mitos dan metode ilmiah berbeda satu sama lain. Mitos bisa saja dihapus jika kebenaran mitos sudah tidak
relevan dengan kehidupan saat ini. Mitos juga bisa ditolak jika kebenarannya
sudah terpatahkan dengan adanya metode ilmiah yang lebih akurat kebenarannya
untuk mengetahui sebuah pengetahuan. Tapi yang pasti diingat bahwa, keduanya
hanyalah metode atau cara mendapatkan pengetahuan. Dan kita wajib berterima
kasih pada dua cara tersebut.
2.3.4
Validitas Mitos & Metode Ilmiah sebagai Sumber Pengetahuan dan Sumber Kebenaran
Telah
dijelaskan di depan bahwa sebagai ilmu pengetahuan dan kebenaran bermula dari
empat sumber, yakni: rasionalisme,
empirisme,
intuisi dan wahyu. Serta dalam teori kebenaran yakni: koherensi, korespondensi
dan pragmatisme. Dari kajian tentang teori dan sumber kebenaran tersebut, maka
pertanyaaan berikutnya adalah, apakah antara mitos dan metode
ilmiah bisa dimasukkan dalam beberapa kajian teori kebenaran dan sumber
pengetahuan tersebut?
Maka
menurut kami, antara mitos dan metode ilmiah bisa dimasukkan dalam kedua
kategori tersebut untuk beberapa item. Dengan masuknya mitos dan metode ilmiah,
maka secara otomatis mereka memiliki kevalidan walaupun tingkat kevalidannya
berbeda. Lebih jelasnya perhatikan tabel berikut:
Tabel 1
|
|||
CAKUPAN TEORI KEBENARAN
|
|||
TEORI KEBENARAN
|
MITOS
|
METODE ILMIAH
|
HIPOTESA (DUGAAN)
|
Koherensi
|
√
|
√
|
-
|
Korespondensi
|
-
|
√
|
-
|
Pragmatisme
|
√
|
√
|
√
|
Tabel 2
|
|||
CAKUPAN SUMBER PENGETAHUAN
|
|||
SUMBER PENGETAHUAN
|
MITOS
|
METODE ILMIAH
|
HIPOTESA (DUGAAN)
|
Rasionalisme
|
√
|
√
|
√
|
Empirisme
|
-
|
√
|
√
|
Intuisi
|
-
|
-
|
√
|
Wahyu
|
-
|
-
|
-
|
Tabel
diatas merupakan ‘dugaan’ yang kami usulkan, untuk selanjutnya bisa dilakukan penelitian
maupun pembuktian guna mencapai pengalaman yang ‘berbeda’. Dan sebagai pendukung,
maka kami masukkan pula unsur hipotesa untuk pengklasifikasian berdasarkan
teori kebenaran dan sumber pengetahuan. Sebagai contoh kasus, adalah sebagai
berikut:
1.
Mitos. Contoh: Gerhana Bulan.
Ketika
terjadi gerhana bulan, bumi yang tadinya terang berubah menjadi gelap karena
digenggam atau ditelan oleh raksasa (buto-jawa)
yang sedang marah, sehingga manusia harus berusaha meredakan kemarahannya
dengan berbagai cara, misalnya memberi sesajen, meyakini adanya kekuatan lain
di luar alam fisik, adanya para dewa dan sebagainya. Khayalan-khayalan itu
menjadi “keyakinan” yang membentuk pemahaman normatif
tentang setiap keberadaan dan kekuatan yang ada di dalamnya. Sebelum dunia ilmu
menyatakan adanya “gerhana bulan atau gerhana matahari”, manusia pada umumnya
mendapat jawaban dari berbagai mitos.
Dalam setiap gerhana, bulan akan menjadi gelap. Dan bulan juga
mengalami gerhana. Maka gerhana bulan akan menjadikan dirinya gelap. Hal ini memenuhi unsur koherensi (konsisten). Di samping
itu, ternyata kenyataannya bulan tidak dimakan raksasa ketika gerhana. Ini
artinya mitos gerhana bulan tidaklah faktual, tidak sesuai dengan kenyataan.
Sehingga, mitos gerhana bulan tidak memenuhi unsur korespondensi. Dari kejadian
gerhana bulan tersebut, ternyata masyarakat tidak mendapatkan manfaat kecuali pehamanan
yang normatif tentang keberadaan dan kekuatan di dalamnya. Pemahaman normatif
tersebut akan membuat masyarakat takut dengan adanya berbagai marabahaya dari
kemarahan raksasa, sehingga masyarakat berusaha membuat sesajen. Keyakinan ini
masih berkembang pada masyarakat Hindu di Bali. Dalam kaitannya dengan
kebenaran mitos, maka unsure pragmatisme hanya berupa keyakinan yang semakin
kuat pada pandangan-pandangan subyektif; terlepas keyakinan tersebuat benar
atau salah. Sehingga tetap memenuhi unsure pragmatisme subyektif.
Tentang sumber pengetahuan, mitos baik gerhana bulan maupun gerhana
matahari tidak bisa diamati secara teliti. Mitos yang ada hanyalah
dugaan-dugaan yang berkembang menjadi keyakinan. Keyakinan inilah yang
dipertahankan menjadi sebuah ide abstrak. Sehingga mitos gerhana bulan memenuhi
kriteria rasionalitas “terbatas” sesuai zamannya. Akan tetapi, karena gerhana
bulan tidak bisa diamati secara faktual
melainkan hanya dugaan, maka mitos ini tidak memenuhi kriteria empirik. Untuk intuisi, apapun obyeknya bersifat
personal sehingga tidak bisa dijadikan dalil shahih (valid). Sedangkan sumber
wahyu pada masa mitos terjadi, wahyu belum dan tidak ada.
2.
Metode Ilmiah. Contoh: Gerhana Bulan.
Berbeda dengan mitos, maka metode ilmiah lebih memiliki
argumen dalam kaitan dengan teori kebenaran maupun sumber pengetahuan. Sama
dengan mitos, gerhana bulan akan mengakibatkan bulan menjadi gelap karena
pantulan cahaya matahari ke bulan tertutup total oleh bulan itu sendiri,
sehingga bulan menjadi gelap. Sehingga memenuhi teori koherensi (konsisten).
Dan menurut metode ilmiah, terjadinya gerhana bulan karena posisi antara bulan,
bumi dan matahari pada garis lurus sehingga pantulan cahaya matahari ke bulan terhalang
oleh bumi. Dan ini mengandung unsur faktual sehingga memenuhi kriteria
korepondensi. Kejadian gerhana bulan juga bisa dimanfaatkan manusia untuk
mengukur kadar polusi di udara. Jika bulan semakin merah, maka polusi udara
semakin tinggi. Gerhana Bulan juga berfungsi terhadap gaya gravitasi matahari
dan bulan terhadap bumi yang menimbulkan pasang laut maksimum. Beberapa fungsi
ini memenuhi unsur pragmatisme.
Secara rasional, baik gerhana bulan maupun gerhana
matahari terjadi jika antara bumi, bulan dan matahari pada posisi garis lurus,
sehingga memungkinkan cahaya matahari tidak sampai ke bulan (gerhana bulan)
atau cahaya matahari tidak sampai ke sebagian/seluruh bumi (gerhana matahari).
Dan secara empiris, gerhana bulan terjadi karena sinar matahari
yang menuju bulan terhalang bumi. Sinar matahari mengarah ke bumi, di belakang
bumi terbentuklah bayangan, yakni bayangan gelap total (umbra) serta
bayangan redup (penumbra). Gerhana bulan timbul kalau bulan berposisi
pada daerah umbra. Kalau bulan berpsisi di daerah penumbra, maka yang terjadi
adalah gerhana bulan sebagian. Gerhana bulan terjadi pada malam hari15.
Di samping itu, Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda, “Bahwasanya
matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah. Allah
mempertakutkan hamba-hambaNya dengan keduanya. Gerhana matahari bukanlah karena
kematian seseorang atau lahirnya. Maka apabila kamu melihat yang demikian,
hendaklah kamu shalat dan berdoa sehingga selesai gerhana”. (HR. Bukhari
dan Muslim).
Dengan dalil yang semakin banyak pada penggunaan metode
ilmiah dibandingkan mitos, maka dalam proses terjadinya gerhana bulan,
kevalidan metode ilmiah lebih diakui ketimbang mitos itu sendiri. Hal ini bisa
dilihat dari hasil pengklasifikasian antara mitos dan metode ilmiah dengan
sumber pengetahuan serta teori kebenran diatas. Mitos bisa diakui kebenarannya berdasarkan 3 dari 7 klasifikasi
yakni, koherensi, pragmatisme dan rasio. Ini sama dengan 43%, artinya tingkat
keabsahan kebenaran mitos maksimal adalah sekitar 43 %; selebihnya 57 % mitos
adalah tidak abash/valis. Sedangkan metode bisa diakui kebenarannya berdasarkan
5 dari 7 klasifikasi yakni, koherensi, korespondensi, pragmatism, rasio dan
empirisme. Ini sama dengan 71%, artinya tingkat kebenaran metode ilmiah
maksimal adalah sekitar 71 %; selebihnya 29 % metode ilmiah adalah tidak absah.
Ketidakabsahan mitos dan metode ilmiah biasanya ketika menjelaskan tentang
ontology mistisisme (dunia ghaib).
Selain
kasus tentang terjadinya gerhana, hal ini umumnya juga berlaku untuk kejadian-kejadian alam,
sosial dan kebudayaan yang lain seperti: jatuhnya benda dari atas ke bawah,
munculnya pelangi, adanya Dewi Sri dan Dewi Padi, terjadinya mendung disertai
hujan, perhitungan neptu (weton), dll.
3.
Hipotesa. Untuk hipotesa, kami tidak akan membahasnya
disini. Hipotesa hanyalah
sebagai penjembatan antara mitos yang belum pasti kebenarannya dengan metode
ilmiah yang tingkat kebenarannya lebih besar ketimbang mitos.
2.4
Penyelesaian Masalah
Diakui
atau tidak, mitologi telah membawa pengaruh bagi kehidupan manusia. Melalui proses
yang panjang, bahkan mitologi masih menjadi sebuah cara sebagai pedoman untuk
mencari kebenaran, bahkan mitologi sudah menjadi kepercayaan untuk sebuah
agama.
Belakangan,
pergulatan antara mitos dan metode ilmiah
telah berujung pada pertentangan yang sangat tajam. Bahkan kedua alat tersebut
telah mengantarakan pada kepercayaan yang bertentangan dengan penguasa-penguasa
zaman dahulu. Sehingga banyak dari ilmuan-ilmuan yang dipenjara bahkan sampai
dieksekusi mati karena mempertahankan kepercayaannya yang bertentangan dengan
kekuasaan, terlepas dari mitos atau metode ilmiah yang diapakai antara keduanya.
Untuk
menyikapi perkembangan mitos dan metode ilmiah, maka ada beberapa hal yang
perlu ditekankan, diantaranya:
1.
Keduanya merupakan metode dalam menggali ilmu pengetahuan dan
mengetahui sebuah kebenaran, sesuai dengan tingkat perkembangan manusia itu
sendiri.
2.
Kedua metode tersebut setidaknya pernah mengalami masa kejayaan
pada zamannya masing-masing, khususnya metode ilmiah yang sedang mendapatkan
masa kejayaan sampai saat ini.
3.
Mitos dan metode ilmiah bermula dari keragu-raguan, sehingga banyak
menggunakan penalaran (rasio) dan pengalaman empiris; merupakan produk berfikir
yang merupakan ikhtiar untuk mencari hakikat kebenaran (metode ikhtiyari). Hal
ini sedikit berbeda dengan pembuktian melalui wahyu yang sifatnya “pasti benar”
yang merupakan pemberian (ilham) yang harus diyakini untuk selanjutnya mungkin
saja dibuktikan untuk memperkuat keyakinan akan kebenaran yang sudah diberikan (metode
ilhami).
4.
Dalam kaitan dengan kepercayaan, maka mitologi dan metode ilmiah
masih memiliki pendukungnya masing-masing dengan dalil dan argument yang kuat.
5.
Dalam kaitan dengan agama-agama, maka perlu adanya penyaringan
berdasarkan kitab suci sebagai kosntitusi sebuah agama.
6.
Dalam kaitan dengan agama-agama, penggunaan metode ilhami (wahyu)
harus lebih diutamakan serta mengalahkan metode ikhtiyari (mitos dan metode
ilmiah).
7.
Dalam kaitan dengan agama Islam, maka perlu adanya penyaringan dan
pemilahan, karena yang menjadi sumber utama kebenaran bukan saja berupa produk
berfikir (Ijma dan Qiyas) yang dipresentasikan dengan mitologi maupun metode
ilmiah (keduanya menggunakan rasio/penalaran dan pengalaman empiris), melainkan
juga wahyu yang sangat penting (Al Quran dan Hadits).
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Perkembangan pola pikir manusia berawal dari rasa ingin tahu
terhadap fenomena alam. serta penalaran dan bahasa yang komunikatif untuk
mendapatkan pengetahuan. Manusia juga makhluk yang berfikir, merasa, mengindera,
dan mendapatkan ilham dari sang pencipta.
Masyarakat zaman dahulu kental dengan kehidupan yang bersifat ghaib
dan mereka berkecimpung dengan alam, sehingga
melahirkan suatu kepercayaan. Mitos adalah keyakinan manusia yang disandarkan
pada cerita misteri dan para dewa zaman dahulu. Metode ilmiah adalah suatu cara
teratur yang saling berkaitan untuk memudahkan dalam mencapai totalitas suatu
tujuan.
Munculnya metode ilmiah sejak tahun sebelum masehi hingga sekarang
ini. majunya ilmu tekhnologi, informasi, dan komunikasi lambat laun merubah mitos-mitos
yang ada dalam masyarakat khususnya di pulau jawa.
Kevalidan mitos dan metode ilmiah sebagai sumber pengetahuan dan
kebenaran dapat dipertanggung jawabkan. Keduanya berhubungan sangat mesra. Karena
adanya mitos, manusia menjadi terdorong untuk mencari pengetahuan sebenarnya
dengan meneliti kebenarannya sehingga menyebabkan munculnya metode ilmiah. metode
ilmiah mempunyai dua peran penting terhadap mitos, yaitu ; 1) sebagai
penguat argumentasi dari mitos yang ada. 2) menggeser mitos yang sudah
tidak berlaku tanpa menghilangkan nilai-nilainya.
.
3.2
Saran
Sedikit penjelasan mengenai perkembangan
pola pikir masyarakat dari mitos sampai metode ilmiah, semoga bisa bermanfaat bagi segenap pembaca. Kami mohon maaf apabila ada kesalahan baik
berupa penulisan maupun pembahasan di atas karena keterbatasan pengetahuan. Kiranya kritik dan saran yang membangun sangat kami
perlukan untuk perbaikan penulisan makalah ini ke depan. Sekian, dan Wallahu ‘Alam bish showab.
CATATAN KAKI
1 Drs.
Atang Abdul Hakim, M.A., Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si. Filsafat Umum, Dari
Metodologi sampai Teofilosofi. Bandung: CV
Pustaka Setia, Cet.X, Cet.I, 2008; halaman39.
2 Tim Penyusun Kamus
Pusat Bahasa, Kamusku Indonesia Balai Pustaka. Apl. Android oleh
Kodelokus Cipta Aplikasi, Bandung, Ed. Revisi. 2014.
3 Ibid.
4 Anton Bakker, 1984,
hlm. 10 dalam Drs. Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: PT
Bumi Aksara, Cet.I, 2005; halaman 7-8.
5 Ibid… Tim
Penyusun Kamus Pusat Bahasa….
6 Ibid.
7 Ibid.
8 Soejono Soemargono,
1983, hlm. 13-16 dalam Drs. Surajiwo…, halaman 67-68.
9 Jujun S Suriasumantri, Filsafat
Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, Cet.XXI,
2009; halaman 55-59.
10 Ibid; halaman
50-54.
11 Drs. Atang Abdul Hakim…;
halaman 39.
12 Drs. Atang Abdul Hakim…;
halaman 39-40.
13 Drs. Mawardi, Ir. Nur
Hidayati, Ilmu Alamiah Dasar, Ilmu Sosial Dasar, Ilmu Budaya Dasar (IAD,
ISD, IBD). Bandung: CV Pustaka Setia, Cet.VI, 2009; halaman. 13-15.
14 Bayuadhy, Gesta, “Tradisi-Tradisi
Adiluhung Para Leluhur Jawa, Melestarikan Berbagai Tradisi Jawa Penuh Makna.
Yogyakarta: DIPTA, Cet. I, 2015.
16 Al Quran; Surat Al Qiyamah, 75: 8-9.
DAFTAR
PUSTAKA
Azra,
Azyumardi, Prof, DR, M.A, Menuju Masyarakat Madani, Gagasan, Fakta dan
Tantangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet.II, 2000.
Bayuadhy,
Gesta, “Tradisi-Tradisi Adiluhung Para Leluhur Jawa, Melestarikan Berbagai
Tradisi Jawa Penuh Makna. Yogyakarta: DIPTA, Cet.I, 2015.
Durkheim,
Emile, The Elementary Forms of The Religious Life, Sejarah Bentuk-Bentuk
Agama yang Paling Dasar (Edisi Baru). Terj. Inyiak Ridwan Muzir dkk.
Yogyakarta: IRCiSoD, Cet.I, 2011.
Hakim, Atang
Abdul, Drs., M.A., Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si. Filsafat Umum, Dari
Metodologi sampai Teofilosofi. Bandung: CV Pustaka Setia, Cet.X, Cet.I
2008.
Khaldun, Ibnu, Mukaddimah.
Terj. Masturi Ilham dkk. Jakarta Timur: Pustaka Al Kautsar, Cet.I, 2011.
Mawardi, Drs.,
Nur Hidayati, Ir., Ilmu Alamiah Dasar, Ilmu Sosial Dasar, Ilmu Budaya Dasar
(IAD, ISD, IBD). Bandung: CV Pustaka Setia, Cet.VI, 2009.
Supriyadi,
Dedi, M.Ag, Pengantar Filsafat Islam (Lanjutan) Teori dan Praktik.
Bandung: CV Pustaka Setia, Cet.I, 2010.
Surajiyo, Drs.,
Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: PT Bumi Aksara, Cet.I, 2005.
Suriasumantri,
Jujun S, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, Cet.XXI, 2009.
Sutiyono, Dr., “Poros
Kebudayaan Jawa”. Yogyakarta: Graha Ilmu, Ed.01, 2013.
Tim Penyusun
Kamus Pusat Bahasa, Kamusku Indonesia Balai Pustaka. Apl. Android
oleh Kodelokus Cipta Aplikasi, Bandung, Ed. Revisi. 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar