بسم الله الرحمن الرحيم
Pembagian Hadis
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah “Ulumul Hadis”
Disusun Oleh:
Zaini Maftukhin
STAI KHOZINATUL ULUM BLORA
2015/2016 M.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam agama islam, hadis merupakan
pedoman yang terjadi sumber ajaran-ajaran islam. Hadis menduduki posisi kedua
setelah Al-Qur’an, yang merupakan wahyu dari Allah SWT. kepada Nabi Muhammad. Hadis
menjadi penafsiran Al-Qur’an dalam praktik atau penerapan perisalah islam. Hal
ini mengingat Nabi Muhammad merupakan perwujudan dari Al-Qur’an yang di
tafsirkan oleh manusia.
Oleh karna itu, melakukan kajian
terhadap hadis-hadis Nabi sangat penting, terlebih dari segi sanad, untuk
menilai apakah secara historis sesuatu yang dikatakan sebagai hadis itu benar
benar dipertanggungjawabkan keshahihannya berasal dari Nabi atau tidak. Di
samping kajian untuk mengetahui kualitas sanad hadis, kajian juga dari segi matan.
Perlunya penelitian matas hadis karna matan tidak dapat dipisahkan dari
pengaruh sanad, tetapi juga karna dalam periwayatan hadis dikenal adanya adanya
periwayatan secara makna.[1]
Maka dari itu, makalah ini akan
membahas tentang pembagian pembagian hadis dari segi kualitasnya.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa saja pembagian pembagian hadis dari segi kualitasnya?
2. Bagaimana penggunaan hadis dalam hukum islam?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui
pembagian pembagian hadis dari segi kualitas.
2.
Mengetahui
penggunaan hadis dalam hukum islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pembagian Hadis dari Segi Kualitas
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa hadis mutawatir
memberikan pengertian yang yaqin bi al-qath’, artinya Nabi Muhammad benar-benar
bersabda, berbuat atau menyatakan taqrir (persetujuannya) dihadapan para
Sahabat berdasarkan sumber-sumber yang banyak dan mustahil mereka sepakat
berdusta kepada Nabi. Karna kebenaran sumbernya telah menyakinkan, maka ia
harus diterima dan diamalkan tanpa perlu diteliti lagi, baik terhadap sanad-nya
maupun matan-nya. berbeda dengan hadis ahad yang hanya memberikan
faedah zhanni (dugaan yang kuat akan kebenarannya), mengharuskan kita
untuk mengadakan penyelidikan, baik terhadap matan maupun sanad-nya,
sehingga status hadis tersebut menjadi jelas, apakah dapat diterima
sebagai hujjah atau ditolak.
Sehubungan dengan
itu, para ulama ahli hadist membagi hadis dilihat dari segi
kualitasnya, menjadi tiga bagian, yaitu hadis shahih, hadis hasan, dan hadis
dha’if. [2]
1.
Hadis
Shahih
a.
Pengertian
Hadis Shahih
Kata
Shahih الصحيح dalam bahasa diartikan sehat lawan dari kata as-saqim السقيم
artinya orang yang sakit. Jadi yang dimaksud hadits shahih adalah hadits yang
sehat dan benar tidak terdapat penyakit dan cacat.
Shahih
yaitu hadis yang bersambung sanadnya. Ia diriwayatkan oleh orang yang adil lagi
dabid (kuat ingatannya) hingga
akhirnya tidak syaz (tidak bertentangan dengan hadis lain yang lebih
shahih) dan tidak mu’allal (tidak cacat). [3]
Hadis yang diriwayatkan oleh
al-Bukhori di dalam kitab shahih pada kitab al-Jihad wa as-siyar, bab ma ya’uzu
min al-jubni;
حدّثنا مسدّد, حدّسنا معتمر, قال : سمعت أبي قال : سمعت
انس بن مالك رضي الله عنهم, قال : كان النّبيّ صلّى الله عليه وسلّم يقول :
الّلهمّ إنّي أعوذبك من العجر, والكسل, والجبن, والهرم, و أعوذبك من فتنة المحيا
والممات, و أعوذبك من عذاب القبر.
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami musaddad, telah menceritakan
kepada kami mu’tamir, ia berkata, Aku mendengar ayahku berkata, Aku mendengar
Anas bin Malik r.a. berkata, Rasulullah saw. berdoa, ya allah, aku memohon
kepadamu perlindungan dari kelemahan, kemalasan, sifat pengecut dan dari
kepikunan, dan aku memohon kepadamu perlindungan dari fitnah (ujian) di masa
hidup dan mati, dan memohon kepadamu perlindungan dari azab di neraka.[4]
a.
Pembagian Hadis Shahih
Para ahli hadis membagi hadis shahih kepada dua bagian, yaitu shahih li-dzati dan shahih li-ghorihih. perbedaan antara keduanya terletak pada segi hafalan atau ingatan perowinya. pada shahih li-dzatih, ingatan perowinya sempurna, sedang pada hadis shahih li-ghorihih, ingatan perowinya kurang sempurna.
· Hadis Shahih
li dzati
Yaitu hadits
yang syarat-syarat hadis shahih tersebut benar-benar telah terbukti adanya.
· Hadis Shahih
li gharihi
Hadits shahih li-gharihih, adalah
hadis hasan li-dzatihi apabila diriwayatkan melalui jalan yang lain oleh perowi
yang sama kualitasnya atau yang lebih kuat dari padanya.
b.
Kehujahan
Hadits Shahih
Hadis
yang telah memenuhi persyaratan hadis shahih wajib diamalkan sebagai hujah atau
dalil syara’ sesuai ijma’ para uluma hadis dan sebagian ulama ushul dan fikih.
Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan dengan penetapan halal
atau haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan dengan aqidah.
Hadis dikatakan shahih
apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:[5]
1. Sanadnya bersambung
Yang
dimaksud dengan ketersambungan sanad adalah bahwa setiap rawi hadits yang
bersangkutan benar-benar menerimanya dari rawi yang berada diatasnya dan begitu
selanjutnya sampai kepada pembicara pertama.
Untuk
mengetahui bersambung atau tidaknya suatu sanad, biasanya ulama hadits menempuh
tata kerja penelitian brikut :
· Mencatat
semua nama rawi dalam sanad yang diteliti.
· Mempelajari
sejarah hidup masing-masing rawi.
· Meneliti
kata-kata yang menghubungkan antara para rawi dan rawi yang terdekat dengan
sanad.
Jadi suatu
sanad dapat dinyatakan bersambung apabila :
· Seluruh rawi
dalam sanad itu benar-benar tsiqat ( adil dan dhabit ).
·
Antara masing-masing rawi dengan
rawi terdekat sebelumnya dalam sanad itu benar-benar telah terjadi hubungan
periwayatan hadits yang sah menurut ketentuan tahamul wa ada al hadits.
2. Para perawinya adil
Menurut Al
Razi keadilan adalah tenaga jiwa yang mendorong untuk selalu bertindak taqwa,
menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi kebiasaan melakukan dosa-dosa kecil, dan
meninggalkan perbuatan perbuatan mubah yang menodai muru’ah, seperti
makan sambil berdiri di jalanan, buang air ( kencing ) di tempat yang bukan disediakan
untuknya, dan bergurau yang berlebihan.
Menurut
Syuhudi Ismail, kriteria kriteria periwayat yang bersifat adil adalah :
· Beragama
Islam
· Berstatus
mukallaf
· Melaksanakan
ketentuan agama
· Memelihara
muru’ah.
3. Para perawinya dhobith
Dhabit
adalah bahwa rawi yang bersangkutan dapat menguasai haditsnya dengan baik, baik
dengan hapalan yang kuat atau dengan kitabnya, lalu ia mampu mengungkapkannya
kembali ketika meriwayatkannya.
4. Tidak ada syaz (keganjilan)
Maksudnya
bahwa hadits yang bersangkutan terbebas dari cacat kesahihannya, yakni hadits
itu terbebas dari sifat-sifat samar yang membuatnya cacat, meskipun tampak
bahwa hadits itu tidak menunjukkan adanya cacat tersebut.
5. Tidak ada ilah (cacat)
Kejanggalan hadits terletak pada
adanya perlawanan antara suatu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul (
yang dapat diterima periwayatannya ) dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi
yang lebih kuat ( rajih ) daripadanya, disebabkan kelebihan jumlah sanad dalam
ke dhabitan atau adanya segi-segi tarjih yang lain.
Jadi hadits sahih adalah hadits yang
rawinya adil dan sempurna ke-dhabit-annya, sanadnya muthasil, dan
tidak cacat matannya marfu’ tidak cacat dan tidak janggal.
2.
Hadis
hasan[6]
a.
Pengertian
hadis Hasan
Hadis
Hasan adalah hadis yang memenuhi syarat sebagai hadis shahih, hanya saja
kualitasnya dhabth (keakuratan)
salah seorang atau beberapa orang rawinya berada di bawah kualitas rawi hadis
shahih, tetapi hal itu tidak sampai mengeluarkan hadis tersebut dari wilayah
kebolehan berhujjah dengannya.
Hadis diriwayatkan oleh ibnu
al-Quththan di dalam Ziyadah ‘ala Sunah Ibni Majah (2744) dengan jalan:
يحي بن سعد, عن عمر بن شعيب, عن ابيه عن جدّه, قال : قال
رسول الله صلى الله عليه وسلّم كفر بامرئ ادّعا نسب لايعرفه, اوجحّده, وإن دقّ, وسنده
حسن.
Artinya: “Yahya bin Sa’id, dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari
kakeknya, berkata, Rasulullah saw. bersabda, “kafirlah orang yang mengaku-aku
nasab orang yang tidak diketahuinyaatau menolak nasab (yang sebenarnya),
meskipun samar”.
a.
Pembagian Hadis Hasan
Sebagaimana hadis shahih yang terbagi
menjadi dua macam, hadis hasasn pun terbagi menjadi dua macam, yaitu hasan
li-dzatih dan hasan li-ghairih;
· Hasan
Li-Dzatih
Hadis hasan li-dzatih adalah hadis
yang telah memenuhi persyaratan hadits hasan yang telah ditentukan. pengertian
hadis hasan li-dzatih
· Hasan
Li-Ghairih
Hadis hasan
yang tidak memenuhi persyaratan secara sempurna. dengan kata lain, hadis tersebut
pada dasarnya adalah hadis dha’if, akan tetapi karena adanya sanad atau matan
lain yang menguatkannya (syahid atau muttabi’), maka kedudukan hadis dha’if
tersebut naik derajatnya menjadi hadis hasan li-ghairih.
b.
Kehujahan
Hadis Hasan
Hadis hasan sebagai mana halnya hadis shahih, meskipun derajatnya
dibawah hadis shahih, adalah hadis yang dapat diterima dan dipergunakan sebagai
dalil atau hujjah dalam menetapkan suatu hukum atau dalam beramal. Para ulama
hadis, ulama ushul fiqih, dan fuqaha sepakat tentang kehujjahan hadis hasan.
Menurut Ibn Hajar, hadis hasan telah
memenuhi persyaratan sebagaimana persyaratan hadis shahih, hanya saja berbeda, pada
hadis shahih daya ingat perawinya sempurna, sedangkan pada hadis hasan daya
ingatan perawinya kurang sempurna. Dengan kata lain bahwa hadis hasan, menurut
Ibn hajar adalah:[7]
1. Perawinya adil
2. Para perawinya dhabit (tetapi) tidak begitu
kuat daya ingatnya
3. Bersambung-sambung sanadnya
4. Tidak terdapat syaz (keganjilan)
5. Tidak terdapat ilah (cacat)
3. Hadis Dha’if
a. Pengertian Hadis Dha’if
Kata dha’if menurut bahasa berati lemah, sebagai lawan
kuat. Maka sebuat hadis dha’if secara bahasa berati hadis yang lemah atau hadis
yang tidak kuat.[8]
Secara istilah para
ulama terdapat perbedaan rumusan dalam mendefinisikan hadis dha’if ini. Akan
tetapi pada dasarnya isi dan maksud tidak berbeda. Beberapa definisi di
antaranya :[9]
Al-Nawawi
مالم يوجد فيه شروط الحسن
Artinya: “ Hadis yang didalamnya tidak dapat syarat-syarat hadis shahih
dan syarat-syarat hasan”.
Nurr Al-Din ‘irt, bahwa definisi yang
paling baik bahwa
ما فقد شرطا من شروط الحديث المقبول
Artinya: “Hadis yang hilang salah satunya syaratnya dari syarat-syarat
hadist Maqbul (hadis shahih atau yang hasan).
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
قَالَ : قَالَتْ خَوْلَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ يَذْهَبْ الدَّمُ ؟
قَالَ : يَكْفِيك الْمَاءُ وَلَا يَضُرُّك أَثَرُهُ أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ
وَسَنَدُهُ ضَعِيفٌ
Artinya: “Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu
berkata: Khaulah bertanya, wahai Rasulullah, meskipun darah itu tidak hilang? Beliau menjawab: "Engkau
cukup membersihkannya dengan air dan bekasnya tidak mengapa bagimu."
Dikeluarkan oleh Tirmidzi dengan sanad yang lemah.[10]
a.
Kehujahan dan Sikap Ulama
Terhadap Hadis Dhaif
Sebenarnya kalau kita mau jujur dan objektif,
sikap ulama terhadap hadis dhaif itu sangat beragam. Setidaknya kami mencatat
ada tiga kelompok besar dengan pandangan dan hujjah mereka masing-masing. Dan
menariknya, mereka itu bukan orang sembarangan. Semuanya adalah orang-orang
besar dalam bidang ilmu hadis serta para spesialis.
Maka posisi kita bukan untuk menyalahkan atau menghina salah satu kelompok itu. Sebab dibandingkan dengan mereka, kita ini bukan apa-apanya dalam konstalasi para ulama hadits.
1) Kalangan Yang Menolak Mentah-mentah Hadits Dhaif
Bagi pemegang kelompok ini
hadits dhaif itu sama sekali tidak akan dipakai untuk apa pun juga. Baik
masalah keutamaan (fadhilah), kisah-kisah, nasehat atau peringatan. Apalagi
kalau sampai masalah hukum dan aqidah. Pendeknya, tidak ada tempat buat hadits
dhaif di hati mereka.
Di antara mereka terdapat nama Al-Imam Al-Bukhari, Al-Imam Muslim, Abu Bakar Al-Arabi, Yahya bin Mu’in, Ibnu Hazm dan lainnya. Di zaman sekarang ini, ada tokoh seperti Al-Albani dan para pengikutnya.
2) Kalangan Yang Menerima Semua Hadis Dhaif
Jangan salah, ternyata ada juga
kalangan ulama yang tetap menerima semua hadis dhaif. Mereka adalah kalangan
yang boleh dibilang mau menerima secara bulat setiap hadis dhaif, asal bukan hadis
palsu (maudhu’). Bagi mereka, sedhai’f-dha’if-nya suatu hadis, tetap saja lebih
tinggi derajatnya dari akal manusia dan logika.
Di antara para ulama yang sering disebut-sebut termasuk dalam kelompok ini antara lain Al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri mazhab Hanbali. Selain itu juga ada nama Al-Imam Abu Daud, Ibnul Mahdi, Ibnul Mubarak dan yang lainnya.
Di antara para ulama yang sering disebut-sebut termasuk dalam kelompok ini antara lain Al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri mazhab Hanbali. Selain itu juga ada nama Al-Imam Abu Daud, Ibnul Mahdi, Ibnul Mubarak dan yang lainnya.
Al-Imam As-Suyuthi mengatakan bawa mereka berkata, ‘Bila kami meriwayatkan hadits masalah halal dan haram, kami ketatkan. Tapi bila meriwayatkan masalah fadhilah dan sejenisnya, kami longgarkan.”
3) Kalangan Menengah
Mereka adalah kalangan yang
masih mau menerima sebagian dari hadis yang terbilang dhaif dengan
syarat-syarat tertentu. Yang berpendapat seperti ini adalah kebanyakan ulama,
para imam mazhab yang empat serta para ulama salaf dan khalaf dan diikuti oleh
jumhur kaum muslimin.
B. Penggunaan Hadis
dalam Hukum Islam
Seluruh umat islam telah sepakat bahwa
hadis Rasul merupakan sumber dan dasar hukum islam setelah Al-Qur’an, dan umat
islam diwajibkan mengikuti hadis sebagaimana diwajibkan mengikuti Al-Qur’an.
Al-Qur’an dan hadis merupakan dua sumber
hukum syariat islam yang tetap, yang orang islam tidak mungkin memahami syariat
islam secara mendalam dan lengkap dengan tanpa kembali kepada kedua sumber
hukum islam tersebut. Seorang mujtahid dan seorang alim pun tidak diperbolehkan
hanya mencukupkan diri dengan salah satu dari keduanya.
Banyak ayat Al-Qur’an dan hadis yang
memberikan pengertian bahwa hadis itu merupakan sumber hukum islam selain
Al-Qur’an yang wajib diikuti, baik dalam bentuk perintah maupun larangannya.
Uraian dibawah ini merupakan paparan tentang kedudukan hadis sebagai sumber
hukum islam dengan melihat beberapa dalil, baik naqli maupun aqli.[11]
1. Dalil
Al-Qur’an
Banyak ayat Al-Qur’an yang menerangkan
tentang kewajiban mempercayai dan menerima segala yang disampaikan oleh rosul
kepada umatnya untuk dijadikan pedoman hidup.
Diantara ayat-ayat yang
dimaksud adalah:
Artinya: Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang
beriman dalam Keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk
(munafik) dari yang baik (mukmin). dan Allah sekali-kali tidak akan
memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa
yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya. karena itu berimanlah kepada
Allah dan rasul-rasulNya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, Maka bagimu
pahala yang besar. (QS. Ali Imran (3) : 179)
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada
Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian, Maka Sesungguhnya orang itu telah sesat
sejauh-jauhnya. (QS. Al Nisa’ (3) : 136).
Dalam QS. Ali Imran di atas, Allah
memisahkan antara orang-orang mukmin dengan orang-orang yang munafik, dan akan
memperbaiki keadaan orang-orang mukmin dan memperkuat iman mereka. Oleh karna
itulah, orang mukmin dituntut agar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Sedangkan QS Al Nisa’ Allah menyeru kaum muslimin agar mereka tetap beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya, Al-Qur’an, dan kitab yang diturunkan sebelumnya.
Kemudian pad akhir ayat, Allah mengancam orang-orang yang mengingkari
seruan-Nya. Selain Allah memerintahkan umat islam agar percaya kepada Rasul,
juga menyerukan agar menaati segala bentuk perundang-undangan dan peraturan
yang dibawanya, baik berupa perintah-perintah maupun larangan. Tuntutan taat
pada Rasul ini sama halnya patut kepada Allah SWT. [12]
2. Dalil
Al-Hadis[13]
Dalam satu pesan Rasulullah berkenandengan
keharusan menjadikan hadis sebagai pedoman hidup, disamping Al-Qur’an sebagai
pedoman utamanya, beliau bersabda:
تركت فيكم أمرين لن تضلّوا ماتمسّكتم بهما كتاب الله
وسنّة نبيّه. (روه ملك)
Artinya: Aku tinggalkan dua pusaka untukmu
sekalian, yang kalian tidak akan tersesat selagi kamu berpegang teguh pada
keduanya, yaitu berupa kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. (HR. Malik).
Dalam hadis lain Rasull bersabda:
...فعليكم بسنّتى وسنة الخلفاءالراشدينالمهدييّن
تمسّكوا بها وعضّوا عليها ...(رواه ابو داود وابن ماجه)
Artinya: Wjib bagi sekalian berpegang teguh
dengan sunahku dan sunnah Khulafa ar-rasyidin, berpegang teguhlah kamu sekalian
dengan-Nya. (HR. Abu Dawwud dan Ibn Hajjah.)
Hadis-hadis di atas tersebut, menunjukkan kepada kita
bahwa berpegang teguh kepada hadis /menjadikan hadis sebagai pegangan dan
pedoman hidup ini adalah wajib, sebagaimana wajibnya berpegang teguh kepada
Al-Qur’an.[14]
3. Kesepakan
Ulama (Ijma’)
Umat isalam telah sepakat menjadikan hadis sebagai
salah satu dasar hukum beramal; karena sesuai dengan yang dikehendaki oleh
Allah. Penerimaan mereka terhadap hadis sama seperti penerimaan mereka terhadap
Al-Qur’an, karena keduanya sama-sama dijadikan sebagai sumber hukum islam.[15]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
hadis dilihat dari
segi kualitasnya, menjadi tiga bagian, yaitu hadis shahih, hadis hasan, dan
hadis dha’if.
Shahih yaitu hadis yang bersambung sanadnya. Ia diriwayatkan oleh
orang yang adil lagi dabid (kuat
ingatannya) hingga akhirnya tidak syaz (tidak bertentangan dengan hadis
lain yang lebih shahih) dan tidak mu’allal (tidak cacat).
Syarat-syarat hadis Shahih
1. Sanadnya bersambung
2. Para perawinya adil
3. Para perawinya dhobith
4. Tidak ada syaz (keganjilan)
5. Tidak ada ilah (cacat)
Hadis Hasan adalah hadis yang memenuhi syarat sebagai hadis shahih,
hanya saja kualitasnya dhabth (keakuratan) salah seorang atau beberapa orang
rawinya berada di bawah kualitas rawi hadis shahih.
Syarat-syarat hadis Shahih
1. Perawinya adil
2. Para perawinya dhabit (tetapi) tidak begitu
kuat daya ingatnya
3. Bersambung-sambung sanadnya
4. Tidak terdapat syaz (keganjilan)
5. Tidak terdapat ilah (cacat)
Hadis dha’if secara bahasa berati hadis
yang lemah atau hadis yang tidak kuat.
Seluruh umat islam telah sepakat bahwa
hadis Rasul merupakan sumber dan dasar hukum islam setelah Al-Qur’an, dan umat
islam diwajibkan mengikuti hadis sebagaimana diwajibkan mengikuti Al-Qur’an.
dan kedudukan hadis sebagai hukum islam dapat ditinjau melalui beberapa dalil
naqli maupun aqli, Kita bisa melihat sumber-sumber dari dalil Al-Qur’an,
dalil-dalil dari hadis maupun dari kesepakatan para ulama’.
والله اعلم
DAFTAR PUSTAKA
Ajjajj al-khatib, Mengenal Ilmu Hadis dan Periwayatnya (Semarang: Aneka Ilmu, 2009).
M. Noor Sulaiman, Antologi Ilmu
Hadis, (Jakarta: CP Press, 2009).
Munzier Saputra, Ilmu Hadis, (Jakarta
Utara: Rajagrafindo Persada, 2011).
Dani Hidayat, bulughul maram versi 3.01 (bab III tentang najis
dan cara menghilangkannya), (2009).
[1] Ajjajj
al-khatib, Mengenal Ilmu Hadis dan
Periwayatnya (Semarang: Aneka
Ilmu, 2009). Hlm. 1
[2] M. Noor
Sulaiman, Antologi Ilmu Hadis, (Jakarta: CP Press, 2009). Hlm. 96
[3] Ajjajj
al-khatib, Mengenal Ilmu Hadis dan
Periwayatnya (Semarang: Aneka
Ilmu, 2009). Hlm. 29
[4] Ajjajj
al-khatib, Mengenal Ilmu Hadis dan Periwayatnya (Semarang: Aneka Ilmu, 2009). Hlm. 31
[5] Ibid,... Hlm
29.
[6] Ibid,... Hlm
30.
[7] M. Noor
Sulaiman, Antologi Ilmu Hadis, (Jakarta: CP Press, 2009). Hlm. 102-103
[8] Munzier Saputra, Ilmu Hadis, (Jakarta Utara: Rajagrafindo
Persada, 2011). Hlm. 149-150
[9] Ibid,... hlm.
105
[10] Dani Hidayat, bulughul
maram versi 3.01 (bab III tentang najis dan cara menghilangkannya), 2009,
Hadis ke 29.
[11] Ibid,... Hlm.
49-50
[12] Ibid,...Hlm.
50-51.
[13] Munzier
Saputra, Ilmu Hadis, (Jakarta Utara: Rajagrafindo Persada, 2011). Hlm.
54-55
[14] Ibid,.. Hlm.
55
[15] Ibid,.. Hlm.
56
Tidak ada komentar:
Posting Komentar