Selasa, 22 November 2016

Pembagian Hadis



بسم الله الرحمن الرحيم
Pembagian Hadis
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah “Ulumul Hadis

Disusun Oleh:
Zaini Maftukhin

STAI KHOZINATUL ULUM BLORA
2015/2016 M.

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Dalam agama islam, hadis merupakan pedoman yang terjadi sumber ajaran-ajaran islam. Hadis menduduki posisi kedua setelah Al-Qur’an, yang merupakan wahyu dari Allah SWT. kepada Nabi Muhammad. Hadis menjadi penafsiran Al-Qur’an dalam praktik atau penerapan perisalah islam. Hal ini mengingat Nabi Muhammad merupakan perwujudan dari Al-Qur’an yang di tafsirkan oleh manusia.
Oleh karna itu, melakukan kajian terhadap hadis-hadis Nabi sangat penting, terlebih dari segi sanad, untuk menilai apakah secara historis sesuatu yang dikatakan sebagai hadis itu benar benar dipertanggungjawabkan keshahihannya berasal dari Nabi atau tidak. Di samping kajian untuk mengetahui kualitas sanad hadis, kajian juga dari segi matan. Perlunya penelitian matas hadis karna matan tidak dapat dipisahkan dari pengaruh sanad, tetapi juga karna dalam periwayatan hadis dikenal adanya adanya periwayatan secara makna.[1]
Maka dari itu, makalah ini akan membahas tentang pembagian pembagian hadis dari segi kualitasnya.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa saja pembagian pembagian hadis dari segi kualitasnya?
2.      Bagaimana penggunaan hadis dalam hukum islam?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui pembagian pembagian hadis dari segi kualitas.
2.      Mengetahui penggunaan hadis dalam hukum islam.





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pembagian Hadis dari Segi Kualitas

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa hadis mutawatir memberikan pengertian yang yaqin bi al-qath’, artinya Nabi Muhammad benar-benar bersabda, berbuat atau menyatakan taqrir (persetujuannya) dihadapan para Sahabat berdasarkan sumber-sumber yang banyak dan mustahil mereka sepakat berdusta kepada Nabi. Karna kebenaran sumbernya telah menyakinkan, maka ia harus diterima dan diamalkan tanpa perlu diteliti lagi, baik terhadap sanad-nya maupun matan-nya. berbeda dengan hadis ahad yang hanya memberikan faedah zhanni (dugaan yang kuat akan kebenarannya), mengharuskan kita untuk mengadakan penyelidikan, baik terhadap matan maupun sanad-nya, sehingga status hadis tersebut menjadi jelas, apakah dapat diterima sebagai hujjah atau ditolak.
            Sehubungan dengan itu, para ulama ahli hadist membagi hadis dilihat dari segi kualitasnya, menjadi tiga bagian, yaitu hadis shahih, hadis hasan, dan hadis dha’if. [2]
1.      Hadis Shahih
a.       Pengertian Hadis Shahih
Kata Shahih الصحيح dalam bahasa diartikan sehat lawan dari kata as-saqim السقيم artinya orang yang sakit. Jadi yang dimaksud hadits shahih adalah hadits yang sehat dan benar tidak terdapat penyakit dan cacat. 
Shahih yaitu hadis yang bersambung sanadnya. Ia diriwayatkan oleh orang yang adil lagi dabid  (kuat ingatannya) hingga akhirnya tidak syaz (tidak bertentangan dengan hadis lain yang lebih shahih) dan tidak mu’allal (tidak cacat). [3]
            Hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhori di dalam kitab shahih pada kitab al-Jihad wa as-siyar, bab ma ya’uzu min al-jubni;

حدّثنا مسدّد, حدّسنا معتمر, قال : سمعت أبي قال : سمعت انس بن مالك رضي الله عنهم, قال : كان النّبيّ صلّى الله عليه وسلّم يقول : الّلهمّ إنّي أعوذبك من العجر, والكسل, والجبن, والهرم, و أعوذبك من فتنة المحيا والممات, و أعوذبك من عذاب القبر.

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami musaddad, telah menceritakan kepada kami mu’tamir, ia berkata, Aku mendengar ayahku berkata, Aku mendengar Anas bin Malik r.a. berkata, Rasulullah saw. berdoa, ya allah, aku memohon kepadamu perlindungan dari kelemahan, kemalasan, sifat pengecut dan dari kepikunan, dan aku memohon kepadamu perlindungan dari fitnah (ujian) di masa hidup dan mati, dan memohon kepadamu perlindungan dari azab di neraka.[4]

a.      Pembagian Hadis Shahih

          Para ahli hadis membagi hadis shahih kepada dua bagian, yaitu shahih li-dzati dan shahih li-ghorihih. perbedaan antara keduanya terletak pada segi hafalan atau ingatan perowinya. pada shahih li-dzatih, ingatan perowinya sempurna, sedang pada hadis shahih li-ghorihih, ingatan perowinya kurang sempurna.
·  Hadis Shahih li dzati
Yaitu hadits yang syarat-syarat hadis shahih tersebut benar-benar telah terbukti adanya.
·  Hadis Shahih li gharihi
Hadits shahih li-gharihih, adalah hadis hasan li-dzatihi apabila diriwayatkan melalui jalan yang lain oleh perowi yang sama kualitasnya atau yang lebih kuat dari padanya.

b.      Kehujahan Hadits Shahih

Hadis yang telah memenuhi persyaratan hadis shahih wajib diamalkan sebagai hujah atau dalil syara’ sesuai ijma’ para uluma hadis dan sebagian ulama ushul dan fikih. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan dengan penetapan halal atau haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan dengan aqidah.

            Hadis dikatakan shahih apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:[5]

1.      Sanadnya bersambung
Yang dimaksud dengan ketersambungan sanad adalah bahwa setiap rawi hadits yang bersangkutan benar-benar menerimanya dari rawi yang berada diatasnya dan begitu selanjutnya sampai kepada pembicara pertama.
Untuk mengetahui bersambung atau tidaknya suatu sanad, biasanya ulama hadits menempuh tata kerja penelitian brikut :
·  Mencatat semua nama rawi dalam sanad yang diteliti.
·  Mempelajari sejarah hidup masing-masing rawi.
·  Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara para rawi dan rawi yang terdekat dengan sanad.
Jadi suatu sanad dapat dinyatakan bersambung apabila :
·  Seluruh rawi dalam sanad itu benar-benar tsiqat ( adil dan dhabit ).
·  Antara masing-masing rawi dengan rawi terdekat sebelumnya dalam sanad itu benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadits yang sah menurut ketentuan tahamul wa ada al hadits.
2.      Para perawinya adil
Menurut Al Razi keadilan adalah tenaga jiwa yang mendorong untuk selalu bertindak taqwa, menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi kebiasaan melakukan dosa-dosa kecil, dan meninggalkan perbuatan perbuatan mubah yang menodai muru’ah, seperti makan sambil berdiri di jalanan, buang air ( kencing ) di tempat yang bukan disediakan untuknya, dan bergurau yang berlebihan.
Menurut Syuhudi Ismail, kriteria kriteria periwayat yang bersifat adil adalah :
·  Beragama Islam
·  Berstatus mukallaf
·  Melaksanakan ketentuan agama
·  Memelihara muru’ah.

3.      Para perawinya dhobith
Dhabit adalah bahwa rawi yang bersangkutan dapat menguasai haditsnya dengan baik, baik dengan hapalan yang kuat atau dengan kitabnya, lalu ia mampu mengungkapkannya kembali ketika meriwayatkannya.

4.      Tidak ada syaz (keganjilan)
Maksudnya bahwa hadits yang bersangkutan terbebas dari cacat kesahihannya, yakni hadits itu terbebas dari sifat-sifat samar yang membuatnya cacat, meskipun tampak bahwa hadits itu tidak menunjukkan adanya cacat tersebut.

5.      Tidak ada ilah (cacat)
Kejanggalan hadits terletak pada adanya perlawanan antara suatu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul ( yang dapat diterima periwayatannya ) dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih kuat ( rajih ) daripadanya, disebabkan kelebihan jumlah sanad dalam ke dhabitan atau adanya segi-segi tarjih yang lain.
Jadi hadits sahih adalah hadits yang rawinya adil dan sempurna ke-dhabit-annya, sanadnya muthasil, dan tidak cacat matannya marfu’ tidak cacat dan tidak janggal.

2.      Hadis hasan[6]
a.       Pengertian hadis Hasan
Hadis Hasan adalah hadis yang memenuhi syarat sebagai hadis shahih, hanya saja kualitasnya dhabth  (keakuratan) salah seorang atau beberapa orang rawinya berada di bawah kualitas rawi hadis shahih, tetapi hal itu tidak sampai mengeluarkan hadis tersebut dari wilayah kebolehan berhujjah dengannya.
            Hadis diriwayatkan oleh ibnu al-Quththan di dalam Ziyadah ‘ala Sunah Ibni Majah (2744) dengan jalan:

يحي بن سعد, عن عمر بن شعيب, عن ابيه عن جدّه, قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلّم كفر بامرئ ادّعا نسب لايعرفه, اوجحّده, وإن دقّ, وسنده حسن.

Artinya: “Yahya bin Sa’id, dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, berkata, Rasulullah saw. bersabda, “kafirlah orang yang mengaku-aku nasab orang yang tidak diketahuinyaatau menolak nasab (yang sebenarnya), meskipun samar”.

a.        Pembagian Hadis Hasan

Sebagaimana hadis shahih yang terbagi menjadi dua macam, hadis hasasn pun terbagi menjadi dua macam, yaitu hasan li-dzatih dan hasan li-ghairih;
·  Hasan Li-Dzatih
Hadis hasan li-dzatih adalah hadis yang telah memenuhi persyaratan hadits hasan yang telah ditentukan. pengertian hadis hasan li-dzatih
·  Hasan Li-Ghairih
Hadis hasan yang tidak memenuhi persyaratan secara sempurna. dengan kata lain, hadis tersebut pada dasarnya adalah hadis dha’if, akan tetapi karena adanya sanad atau matan lain yang menguatkannya (syahid atau muttabi’), maka kedudukan hadis dha’if tersebut naik derajatnya menjadi hadis hasan li-ghairih.
b.        Kehujahan Hadis Hasan

Hadis hasan sebagai mana halnya hadis shahih, meskipun derajatnya dibawah hadis shahih, adalah hadis yang dapat diterima dan dipergunakan sebagai dalil atau hujjah dalam menetapkan suatu hukum atau dalam beramal. Para ulama hadis, ulama ushul fiqih, dan fuqaha sepakat tentang kehujjahan hadis hasan.
Menurut Ibn Hajar, hadis hasan telah memenuhi persyaratan sebagaimana persyaratan hadis shahih, hanya saja berbeda, pada hadis shahih daya ingat perawinya sempurna, sedangkan pada hadis hasan daya ingatan perawinya kurang sempurna. Dengan kata lain bahwa hadis hasan, menurut Ibn hajar adalah:[7]
1.      Perawinya adil
2.      Para perawinya dhabit (tetapi) tidak begitu kuat daya ingatnya
3.      Bersambung-sambung sanadnya
4.      Tidak terdapat syaz (keganjilan)
5.      Tidak terdapat ilah (cacat)

3.      Hadis Dha’if
a.       Pengertian Hadis Dha’if
Kata dha’if menurut bahasa berati lemah, sebagai lawan kuat. Maka sebuat hadis dha’if secara bahasa berati hadis yang lemah atau hadis yang tidak kuat.[8]
            Secara istilah para ulama terdapat perbedaan rumusan dalam mendefinisikan hadis dha’if ini. Akan tetapi pada dasarnya isi dan maksud tidak berbeda. Beberapa definisi di antaranya :[9]
Al-Nawawi
مالم يوجد فيه شروط الحسن
Artinya: “ Hadis yang didalamnya tidak dapat syarat-syarat hadis shahih dan syarat-syarat hasan”.

Nurr Al-Din ‘irt, bahwa definisi yang paling baik bahwa
ما فقد شرطا من شروط الحديث المقبول
Artinya: “Hadis yang hilang salah satunya syaratnya dari syarat-syarat hadist Maqbul (hadis shahih atau yang hasan).

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَتْ خَوْلَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ يَذْهَبْ الدَّمُ ؟ قَالَ : يَكْفِيك الْمَاءُ وَلَا يَضُرُّك أَثَرُهُ أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ وَسَنَدُهُ ضَعِيفٌ
Artinya: “Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu berkata: Khaulah bertanya, wahai Rasulullah, meskipun darah itu tidak hilang? Beliau menjawab: "Engkau cukup membersihkannya dengan air dan bekasnya tidak mengapa bagimu." Dikeluarkan oleh Tirmidzi dengan sanad yang lemah.[10]




a.        Kehujahan dan Sikap Ulama Terhadap Hadis Dhaif
 Sebenarnya kalau kita mau jujur dan objektif, sikap ulama terhadap hadis dhaif itu sangat beragam. Setidaknya kami mencatat ada tiga kelompok besar dengan pandangan dan hujjah mereka masing-masing. Dan menariknya, mereka itu bukan orang sembarangan. Semuanya adalah orang-orang besar dalam bidang ilmu hadis serta para spesialis.

            Maka posisi kita bukan untuk menyalahkan atau menghina salah satu kelompok itu. Sebab dibandingkan dengan mereka, kita ini bukan apa-apanya dalam konstalasi para ulama hadits.

1)    Kalangan Yang Menolak Mentah-mentah Hadits Dhaif
Bagi pemegang kelompok ini hadits dhaif itu sama sekali tidak akan dipakai untuk apa pun juga. Baik masalah keutamaan (fadhilah), kisah-kisah, nasehat atau peringatan. Apalagi kalau sampai masalah hukum dan aqidah. Pendeknya, tidak ada tempat buat hadits dhaif di hati mereka.

Di antara mereka terdapat nama Al-Imam Al-Bukhari, Al-Imam Muslim, Abu Bakar Al-Arabi, Yahya bin Mu’in, Ibnu Hazm dan lainnya. Di zaman sekarang ini, ada tokoh seperti Al-Albani dan para pengikutnya.

2)      Kalangan Yang Menerima Semua Hadis Dhaif
Jangan salah, ternyata ada juga kalangan ulama yang tetap menerima semua hadis dhaif. Mereka adalah kalangan yang boleh dibilang mau menerima secara bulat setiap hadis dhaif, asal bukan hadis palsu (maudhu’). Bagi mereka, sedhai’f-dha’if-nya suatu hadis, tetap saja lebih tinggi derajatnya dari akal manusia dan logika.

Di antara para ulama yang sering disebut-sebut termasuk dalam kelompok ini antara lain Al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri mazhab Hanbali. Selain itu juga ada nama Al-Imam Abu Daud, Ibnul Mahdi, Ibnul Mubarak dan yang lainnya.

Al-Imam As-Suyuthi mengatakan bawa mereka berkata, ‘Bila kami meriwayatkan hadits masalah halal dan haram, kami ketatkan. Tapi bila meriwayatkan masalah fadhilah dan sejenisnya, kami longgarkan.”

3)     Kalangan Menengah
Mereka adalah kalangan yang masih mau menerima sebagian dari hadis yang terbilang dhaif dengan syarat-syarat tertentu. Yang berpendapat seperti ini adalah kebanyakan ulama, para imam mazhab yang empat serta para ulama salaf dan khalaf dan diikuti oleh jumhur kaum muslimin.

B.     Penggunaan Hadis dalam Hukum Islam

Seluruh umat islam telah sepakat bahwa hadis Rasul merupakan sumber dan dasar hukum islam setelah Al-Qur’an, dan umat islam diwajibkan mengikuti hadis sebagaimana diwajibkan mengikuti Al-Qur’an.
Al-Qur’an dan hadis merupakan dua sumber hukum syariat islam yang tetap, yang orang islam tidak mungkin memahami syariat islam secara mendalam dan lengkap dengan tanpa kembali kepada kedua sumber hukum islam tersebut. Seorang mujtahid dan seorang alim pun tidak diperbolehkan hanya mencukupkan diri dengan salah satu dari keduanya.
Banyak ayat Al-Qur’an dan hadis yang memberikan pengertian bahwa hadis itu merupakan sumber hukum islam selain Al-Qur’an yang wajib diikuti, baik dalam bentuk perintah maupun larangannya. Uraian dibawah ini merupakan paparan tentang kedudukan hadis sebagai sumber hukum islam dengan melihat beberapa dalil, baik naqli maupun aqli.[11]

1.      Dalil Al-Qur’an
Banyak ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang kewajiban mempercayai dan menerima segala yang disampaikan oleh rosul kepada umatnya untuk dijadikan pedoman hidup.
            Diantara ayat-ayat yang dimaksud adalah:

  
Artinya: Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam Keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin). dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya. karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasulNya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, Maka bagimu pahala yang besar. (QS. Ali Imran (3) : 179)

Dalam ayat lain Allah SWT. berfirman:
 
Artinya:  Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya.  Barangsiapa yang kafir kepada Allah,  malaikat-malaikat-Nya,  kitab-kitab-Nya,  rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian,  Maka Sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya. (QS. Al Nisa’ (3) : 136).

Dalam QS. Ali Imran di atas, Allah memisahkan antara orang-orang mukmin dengan orang-orang yang munafik, dan akan memperbaiki keadaan orang-orang mukmin dan memperkuat iman mereka. Oleh karna itulah, orang mukmin dituntut agar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan QS Al Nisa’ Allah menyeru kaum muslimin agar mereka tetap beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, Al-Qur’an, dan kitab yang diturunkan sebelumnya. Kemudian pad akhir ayat, Allah mengancam orang-orang yang mengingkari seruan-Nya. Selain Allah memerintahkan umat islam agar percaya kepada Rasul, juga menyerukan agar menaati segala bentuk perundang-undangan dan peraturan yang dibawanya, baik berupa perintah-perintah maupun larangan. Tuntutan taat pada Rasul ini sama halnya patut kepada Allah SWT. [12]

2.      Dalil Al-Hadis[13]
Dalam satu pesan Rasulullah berkenandengan keharusan menjadikan hadis sebagai pedoman hidup, disamping Al-Qur’an sebagai pedoman utamanya, beliau bersabda:
تركت فيكم أمرين لن تضلّوا ماتمسّكتم بهما كتاب الله وسنّة نبيّه. (روه ملك)

Artinya: Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, yang kalian tidak akan tersesat selagi kamu berpegang teguh pada keduanya, yaitu berupa kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. (HR. Malik).

Dalam hadis lain Rasull bersabda:
...فعليكم بسنّتى وسنة الخلفاءالراشدينالمهدييّن تمسّكوا بها وعضّوا عليها ...(رواه ابو داود وابن ماجه)

Artinya: Wjib bagi sekalian berpegang teguh dengan sunahku dan sunnah Khulafa ar-rasyidin, berpegang teguhlah kamu sekalian dengan-Nya. (HR. Abu Dawwud dan Ibn Hajjah.)

Hadis-hadis di atas tersebut, menunjukkan kepada kita bahwa berpegang teguh kepada hadis /menjadikan hadis sebagai pegangan dan pedoman hidup ini adalah wajib, sebagaimana wajibnya berpegang teguh kepada Al-Qur’an.[14]

3.      Kesepakan Ulama (Ijma’)

Umat isalam telah sepakat menjadikan hadis sebagai salah satu dasar hukum beramal; karena sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah. Penerimaan mereka terhadap hadis sama seperti penerimaan mereka terhadap Al-Qur’an, karena keduanya sama-sama dijadikan sebagai sumber hukum islam.[15]




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan

hadis dilihat dari segi kualitasnya, menjadi tiga bagian, yaitu hadis shahih, hadis hasan, dan hadis dha’if.
           
Shahih yaitu hadis yang bersambung sanadnya. Ia diriwayatkan oleh orang yang adil lagi dabid  (kuat ingatannya) hingga akhirnya tidak syaz (tidak bertentangan dengan hadis lain yang lebih shahih) dan tidak mu’allal (tidak cacat).
Syarat-syarat hadis Shahih
1.      Sanadnya bersambung
2.      Para perawinya adil
3.      Para perawinya dhobith
4.      Tidak ada syaz (keganjilan)
5.      Tidak ada ilah (cacat)

Hadis Hasan adalah hadis yang memenuhi syarat sebagai hadis shahih, hanya saja kualitasnya dhabth  (keakuratan) salah seorang atau beberapa orang rawinya berada di bawah kualitas rawi hadis shahih.
Syarat-syarat hadis Shahih
1.      Perawinya adil
2.      Para perawinya dhabit (tetapi) tidak begitu kuat daya ingatnya
3.      Bersambung-sambung sanadnya
4.      Tidak terdapat syaz (keganjilan)
5.      Tidak terdapat ilah (cacat)

Hadis dha’if secara bahasa berati hadis yang lemah atau hadis yang tidak kuat.
Seluruh umat islam telah sepakat bahwa hadis Rasul merupakan sumber dan dasar hukum islam setelah Al-Qur’an, dan umat islam diwajibkan mengikuti hadis sebagaimana diwajibkan mengikuti Al-Qur’an. dan kedudukan hadis sebagai hukum islam dapat ditinjau melalui beberapa dalil naqli maupun aqli, Kita bisa melihat sumber-sumber dari dalil Al-Qur’an, dalil-dalil dari hadis maupun dari kesepakatan para ulama’.

والله اعلم
DAFTAR PUSTAKA

Ajjajj al-khatib, Mengenal Ilmu Hadis dan Periwayatnya (Semarang: Aneka Ilmu, 2009).
M. Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadis, (Jakarta: CP Press, 2009).
Munzier Saputra, Ilmu Hadis, (Jakarta Utara: Rajagrafindo Persada, 2011).
Dani Hidayat, bulughul maram versi 3.01 (bab III tentang najis dan cara menghilangkannya), (2009).


[1] Ajjajj al-khatib, Mengenal Ilmu Hadis dan Periwayatnya (Semarang: Aneka Ilmu, 2009). Hlm. 1
[2] M. Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadis, (Jakarta: CP Press, 2009). Hlm. 96
[3] Ajjajj al-khatib, Mengenal Ilmu Hadis dan Periwayatnya (Semarang: Aneka Ilmu, 2009). Hlm. 29
[4] Ajjajj al-khatib, Mengenal Ilmu Hadis  dan Periwayatnya (Semarang: Aneka Ilmu, 2009). Hlm. 31
[5] Ibid,... Hlm 29.
[6] Ibid,... Hlm 30.
[7] M. Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadis, (Jakarta: CP Press, 2009). Hlm. 102-103
[8] Munzier Saputra, Ilmu Hadis, (Jakarta Utara: Rajagrafindo Persada, 2011). Hlm. 149-150
[9] Ibid,... hlm. 105
[10] Dani Hidayat, bulughul maram versi 3.01 (bab III tentang najis dan cara menghilangkannya), 2009, Hadis ke 29.
[11] Ibid,... Hlm. 49-50
[12] Ibid,...Hlm. 50-51.
[13] Munzier Saputra, Ilmu Hadis, (Jakarta Utara: Rajagrafindo Persada, 2011). Hlm. 54-55
[14] Ibid,.. Hlm. 55
[15] Ibid,.. Hlm. 56

Tidak ada komentar: