Selasa, 22 November 2016

ZUHUD dan WARA’



ZUHUD dan WARA’
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah “Ilmu Tasawuf

Disusun Oleh:
Ahmad Anang Rifa’i
Mohamad Ali Musthofa
M. Wahib Shobari
Dhohir Abdul Qohhar

STAI KHOZINATUL ULUM BLORA
2015/2016 M.

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Menurut asumsi mayoritas masyarakat indonesia, zuhud dan wara’ sangat bertolak belakang di zaman modern kini. Karena mereka saat ini sedang cinta-cintanya terhadap dunia yakni harta, tahta, dan wanita. Gaya hidup mewah, glamour, dan berlebih-lebihan sudah menjadi karakteristik, sehingga memaksa mereka untuk melakukan perbuatan maksiat (dosa).
Ada beberapa komunitas orang kaya yang berlimpahkan harta dunia, bahkan seolah-olah apa yang mereka rencanakan selalu terealisasikan dengan mudah dan cepat, tetapi mereka masih saja merasa kurang dengan apa yang mereka miliki. Mereka belum bisa menerapkan gaya hidup yang sederhana untuk menuju tingkatan zuhud dan wara’ sehingga banyak kasus korupsi merajalela dalam ranah tanah air indonesia kita.
Oleh karena itu, perlunya pengkajian ulang tentang zuhud dan wara’ dalam kehidupan sekarang ini, Kami mengangkat judul ini demi kemaslahatan umat manusia supaya dapat memahami dan menerapkan sikap zuhud dan wara’ dalam kegiatan sehari-hari, serta menyeimbangkan kehidupan mereka antara duniawi dengan ukhrawinya di dalam era moderen sekarang ini.   

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian zuhud dan wara’?
2.      Bagaimana karakteristik zuhud dan wara’?
3.      Apa saja tingkatan zuhud dan wara’?
4.      Apa saja fadhilah zuhud dan wara’?

C.    Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menyeimbangkan kehidupan antara duniawi dengan ukhrawinya, dengan cara optimalisasi secara intensif di dalam mengetahui salah satu sifat terpuji yakni zuhud dan wara’, dengan target sebagai berikut:
1.      Mahasiswa memperoleh wawasan dan mampu untuk mendefinisikan zuhud dan wara’.
2.      Mahasiswa mampu untuk menyebutkan tingkatan-tingkatan zuhud.
3.      Mahasiswa mengetahui dan dapat menyebutkan karakteristik zuhud dan wara’.
4.      Mahasiswa bisa menjelaskan tentang perkara syubhat.
5.      Mahasiswa mampu menyebutkan fadhilah zuhud dan wara’.
           



BAB II
PEMBAHASAN
       I.            ZUHUD
A.    Pengertian Zuhud
Zuhud secara etimologi berasal dari bahasa arab زهد – يزهد - زهدا  yang berarti tidak menyukai sesuatu.[1] Orang yang bersifat zuhud dinamakan زهيد atau  زهاد . Sedangkan secara terminologi banyak para ulama’ mendefinisikan zuhud antara lain :
1.      Sayyid Al-Junaidi, zuhud adalah menganggap dan memandang kecil terhadap dunia.
2.      Abu Sulaiman Ad-Daraini, zuhud adalah meninggalkan perbuatan yang menyibukkan diri dari mengingat allah.
3.      Syekh Abdul Aziz, zuhud adalah tiada ketergantungan hati terhadap harta dunia.
Orang yang zuhud bukan berarti tidak perlu mencari dan mempunyai harta benda sama sekali. Mereka wajib mencari dan mempunyai harta dunia yang halal menurut kebutuhan hidup mereka secukupnya. Jika harta benda mereka lebih dan melimpah ruah, maka hati mereka pun tidak bergantung kepada harta benda tersebut; dan menganggap bahwa harta benda itu hanya titipan atau pinjaman dari allah kepada mereka yang sewaktu-waktu di kembalikan atau diambil olehnya.[2]
Menurut Sufyan Ibnu Unyainah, zuhud terdiri dari tiga huruf yaitu zay, ha’, dan dal yang mempunyai maksud dan makna tersendiri; 1) zay yaitu tarku az-zinah (meninggalkan kemewahan), 2) ha’ yaitu tarku al-hawa (meninggalkan hawa nafsu), dan 3) dal yaitu tarku ad-dunya (meninggalkan dunia).[3]
Dalam kitab Nashaihul ‘Ibad, juga dijelaskan bahwa zuhud terdiri dari tiga huruf yaitu zay, ha’, dan dal; 1) zay menunjukkan zadun li al-ma’ad yang artinya bekal menuju akhirat yakni takwa kepada allah swt; 2) ha’ menunjukkan hidayatu ad-din yang artinya petunjuk menuju agama yakni bimbingan agar berada pada jalan agama islam; 3) dal menunjukkan dawam ‘ala ath-tha’at yang artinya konsisten dalam melakukan ketaatan yakni senantiasa berada dalam keadaan taat kepada Allah dan menjauhi segala larangannya.[4]  

B.     Karakteristik Zuhud
1.      Tidak merasa suka ketika mempunyai harta dan tidak pula merasa susah ketika tidak mempunyai harta.
2.      Merasa sama antara dipuji atau dicela.
3.      Merasa senang hati (keledzatan) di dalam beribadah kepada Allah.[5]

C.    Tingkatan Zuhud
Sebenarnya zuhud adalah suatu kedudukan yang paling utama dan tingkatan yang tinggi setelah taqwa kepada allah, karena menyebabkan rasa cinta kepada Allah. Dalam kitab Ihya’ dijelaskan beberapa tingkatan-tingkatan zuhud, yaitu antara lain:
1.      Tingkatan rendah, yaitu orang yang memaksakan diri menjauhi dunia. Ia rela memerangi nafsunya dalam usaha meninggalkan dunia, sekalipun ia- sangat menyukainya. Semoga saja hal itu berlangsung terus, sehingga pelakunya mencapai tingkat zuhud yang sesungguhnya.
2.      Tingkatan sedang, yaitu orang yang menjauhi dunia dengan suka rela, karena ia menganggapnya kecil, meski sebenarnya ia masih menginginkannya. Tingkatan ini seperti orang yang meninggalkan uang satu dirham demi memperoleh dua dirham. Hal ini tidak memberatkannya, akan tetapi masih memperhatikan apa yang ditinggalkannya itu dan juga masih melihat di seputar keadaan dirinya. Zuhud seperti ini mengandung beberapa kelemahan (kekurangan).[6]
3.      Tingkatan Tinggi, yaitu orang yang menjauhi dunia dengan sukarela dan tidak merasakan sikap zuhudnya. Karena, ia tidak menganggap bahwa ia meninggalkan sesuatu. Menurutnya dunia tidak berarti apa-apa baginya. Seperti orang yang meninggalkan seonggok tanah liat demi mengambil sebutir permata. Tapi ia tidak menganggap permata itu sebagai ganti. Betapapun indah dan mahalnya dunia dibandingkan dengan akhirat tidak ada artinya sama sekali.

D.    Fadhilah Zuhud
1.      Allah akan menyatukan perkaranya, menjaga harta bendanya, menjadikan kekayaanya di dalam hatinya, dan dunia pun datang kepadanya dalam keadaan tunduk.
Allah ta’ala berfirman:
“Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya. Dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia akan Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan di dunia, namun tidak ada baginya suatu bagian pun di akhirat kelak.” [7]

2.      Mempunyai banyak hikmah, bijaksana, lapang dada, dan dicintai oleh Allah.
3.      Hatinya akan selalu diterangi cahaya keimanan oleh Allah dan akan dimasukkan ke dalam surganya.[8]

E.     Tokoh-tokoh zuhud
Dalam peradaban islam banyak tokoh-tokoh yang menjunjung tinggi sifat zuhud. Meskipun mereka mempunyai kekayaan yang berlimpah ruah, kehidupan mereka sangat sederhana dan cenderung beribadah melebihi mayoritas manusia. Para ahli zuhad yaitu antara lain:[9]
·  Abu Dzar Al-Ghifari (Sahabat Rasulullah)
·  Hasan Al-Bashri (110 H/728 M).
·  Sufyan Ats-Tsauri (161 H/778 M).
·  Said Bin Musayyab (94 H).
·  Malik Bin Dinar (171 H).
·  Abdullah Bin Mubarak (181 H).
·  Rabi’ah Al-Adawiyah (185 H/796 M).
·  Fudhail Bin Al-Iyyadh (197 H).
·  Abu Al-Hasan Asy-Syadhili.

    II.            WARA’
A.    Pengertian Wara’
Wara’ atau yang lebih dikenal dengan sebutan wira’i berasal dari bahasa arab   ورعا  ورع يرع yang berarti menjauhi dari perbuatan haram dan syubhat.[10] Sedangkan menurut istilah adalah kesanggupan diri untuk meninggalkan dan menjauhi semua perkara yang haram dan sesuatu yang tidak jelas halal haramnya (syubhat).[11] Rasulullah SAW pernah berwasiat kepada sahabat Ali bahwa “Tidaklah mempunyai iman yang sempurna seorang yang tidak wira’i, dan lebih baik (mati) di dalam bumi dari pada hidup tetapi tidak mempunyai keimanan di hatinya”.[12]  
B.     Karakteristik Wara’
Menurut Al-Faqih, karakteristik wara’ ada 10 yaitu:[13]
1.             Menjaga lidah dari mengumpat (ghibah).
2.             Menjauhi dari berprasangka buruk (su’u adz-dzon)
3.             Menjauhi untuk tidak menghina orang lain (sukhriyah)
4.             Memejamkan penglihatan dari perkara yang haram.
5.             Berbicara benar (tidak berbohong).
6.             Mengetahui bahwa segala nikmat itu dari allah (supaya tidak ujub).
7.             Menginfaqkan harta benda di dalam jalan allah
8.             Tidak sombong.
9.             Melaksanakan sholat lima waktu dengan kontinyu.
10.         Konsisten dalam melaksanakan jama’ah dan ibadah sunah.


C.    Seputar Perkara Syubhat
Syubhat adalah perkara yang belum jelas atas kehalalan atau keharamannya. Adapun perkara yang menimbulkan adanya syubhat (keraguan) itu ada dua faktor :[14]
1.      Adanya keraguan terhadap hal-hal yang menyebabkan keharaman maupun kehalalannya, seperti :
· Matinya hewan buruan yang tercebur di dalam air yang kemudian timbul keraguan haram setelah itu, apakah hewan tersebut itu mati sebab tenggelam atau terkena panah.
· Diduga kuat bahwa air di dalam suatu bejana terkena najis karena terdapat tanda-tanda tertentu sehingga haram hukumnya meminum air darinya dan tidak boleh pula digunakan untuk berwudhu.
2.      Adanya keraguan yang muncul akibat percampuran sesuatu yang diharamkan dengan sesuatu yang dihalalkan, seperti:
· Satu ekor bangkai binatang yang bercampur di dalam berpuluh-puluh ekor binatang sembelihan.

D.    Fadhilah dan Keutamaan Wara’
1.         Dimasukkan surganya allah.
2.         Mendapatkan kebaikan di dalam beribadah.
3.         Mendapatkan rizki yang barokah.
4.         Menjadi manusia yang terbaik.[15]

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Zuhud adalah tidak adanya ketergantungan di dalam hati seorang hamba terhadap perkara dunia. Karakteristik zuhud yaitu : sama antara mempunyai harta maupun tidak, sama antara dipuji maupun dicaci, dan merasakan keladzatan dalam beribadah. Zuhud ada tiga tingkatan, yaitu tingkatan rendah, tingkatan sedang, dan tingkatan tinggi. Fadhilah zuhud antara lain yaitu: kaya hati, lapang dada, dicintai allah, bijaksana, dan hatinya selalu bercahaya keimanan. Tokoh-tokoh zuhud antara lain: abu dzar al-ghifari, hasan al-basri, rabiah adawiyah, abu al-hasan asyadhili.
Wara’ adalah kesanggupan diri untuk meninggalkan perkara maksiat (haram dan syubhat). Karakteristik wara’ antara lain: tidak ghibah, su’udzon, sukhriyah, ujub, dsb. Perkara syubhat adalah perkara yang belum jelas hukumnya kerena adanya keraguan dalam sebab-sebab dan percampuran antara kehalalan maupun keharamannya. Fadhilah wira’i antaralain: masuk surga, baik dalam beribadah, mendapatkan rizki barokah, dan menjadi manusia yang terbaik.
B.     Kritik dan Saran
Semoga penjelasan mengenai zuhud dan wara’ tersebut bisa bermanfaat bagi segenap pembaca. kami mohon maaf apabila ada kesalahan baik berupa penulisan maupun pembahasan di atas karena keterbatasan pengetahuan. Mohon kiranya kritik dan saran yang membangun untuk kemajuan bersama. Sekian dan wallahu a’lam bisshowab.



DAFTAR PUSTAKA
Prof. H. Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Hida Karya Agung, 1990.
Sayyid Abu Bakar Al-Makki, Kifayatul Atqiya’, Semarang: Toha Putra.
Ahmad Sunarto, Terjemah Nashaihul ‘Ibad li Syekh Muhammad Nawawi Ibnu Umar Al-Jawi, Surabaya: Al-Hidayah.
Al-Imam Hamid Muhammad bin Muhammad  Al-Ghazali, Ihya’ Ulumi Ad-din Juz 4, At-Tauzi’:Darul Fikr.
Al-Qur’an, Surah: As-Syuuraa, Ayat: 20.
Islam.Info Berguna.com/2012/11/keutamaan bersikap wira’i.
Adeng Lukmantara.blokspot.co.id/2010/08/14/sabtu/Mengenal Tokoh-Tokoh Zuhud.





[1] Prof. H. Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Hida Karya Agung, 1990. Hal.158.
[2] Sayyid Abu Bakar Al-Makki, Kifayatul Atqiya’, Semarang: Toha Putra. Hal.21

[3] Sayyid Abu Bakar Al-Makki,.... ibid…

[4] Ahmad Sunarto, Terjemah Nashaihul ‘Ibad li Syekh Muhammad Nawawi Ibnu Umar Al-Jawi, Surabaya:    Al-Hidayah, 1416 H. Hal.45.
[5] Al-Imam Hamid Muhammad bin Muhammad  Al-Ghazali, Ihya’ Ulumi Ad-din Juz 4, At-Tauzi’:Darul Fikr, Hal.252.
[6] Imam Al-Ghazali, Penerjemah: ‘Abdul Rosyad Siddiq, Ringkasan Ihya’ ‘Ulumuddin, Jakarta Timur: Akbar Media Eka Sarana, 2008, Hal.576.
[7] As-Syuuraa: 20
[8] Imam Al-Ghazali, Penerjemah: ‘Abdul Rosyad Siddiq, Ringkasan Ihya’ ‘Ulumuddin, Jakarta Timur: Akbar Media Eka Sarana, 2008, Hal.379-380.
[9] Adeng Lukmantara.blokspot.co.id/2010/08/14/sabtu/Mengenal Tokoh-Tokoh Zuhud.
[10] Prof. H. Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Hida Karya Agung, 1990. Hal.497.
[11] Ahmad Sunarto, Terjemah Nashaihul ‘Ibad…Hal.32.
[12] K. Asrari, Al-Bayanul Mushaffa fi Washiatil Musthafa, Semarang: Toha Putra, 1382H,Hal.91-93.
[13] K. Asrari,.........ibid,Hal.92-96.
[14] Imam Al-Ghazali, Penerjemah: ‘Abdul Rosyad Siddiq, Ringkasan Ihya’ ‘Ulumuddin, Hal.166-169.
[15] Islam.Info Berguna.com/2012/11/keutamaan bersikap wira’i.

Tidak ada komentar: