ZUHUD
dan WARA’
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah “Ilmu Tasawuf”
Disusun Oleh:
Ahmad Anang Rifa’i
Mohamad Ali Musthofa
M. Wahib Shobari
Dhohir Abdul Qohhar
STAI KHOZINATUL ULUM BLORA
2015/2016 M.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Menurut asumsi mayoritas
masyarakat indonesia, zuhud dan wara’ sangat bertolak belakang di zaman modern
kini. Karena mereka saat ini sedang cinta-cintanya terhadap dunia yakni harta,
tahta, dan wanita. Gaya hidup mewah, glamour, dan berlebih-lebihan sudah
menjadi karakteristik, sehingga memaksa mereka untuk melakukan perbuatan
maksiat (dosa).
Ada beberapa
komunitas orang kaya yang berlimpahkan harta dunia, bahkan seolah-olah apa yang
mereka rencanakan selalu terealisasikan dengan mudah dan cepat, tetapi mereka
masih saja merasa kurang dengan apa yang mereka miliki. Mereka belum bisa
menerapkan gaya hidup yang sederhana untuk menuju tingkatan zuhud dan wara’
sehingga banyak kasus korupsi merajalela dalam ranah tanah air indonesia kita.
Oleh karena itu, perlunya pengkajian ulang tentang zuhud dan wara’ dalam kehidupan
sekarang ini, Kami mengangkat judul ini demi kemaslahatan umat manusia supaya
dapat memahami dan menerapkan sikap zuhud dan wara’ dalam kegiatan sehari-hari,
serta menyeimbangkan kehidupan mereka antara duniawi dengan ukhrawinya di dalam
era moderen sekarang ini.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian zuhud dan wara’?
2.
Bagaimana karakteristik zuhud dan wara’?
3.
Apa saja tingkatan zuhud dan wara’?
4.
Apa saja fadhilah zuhud dan wara’?
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan dari
penulisan ini adalah untuk menyeimbangkan kehidupan antara duniawi dengan ukhrawinya, dengan cara optimalisasi secara intensif di dalam
mengetahui salah satu sifat terpuji yakni zuhud dan wara’, dengan target
sebagai berikut:
1.
Mahasiswa memperoleh wawasan dan mampu untuk mendefinisikan zuhud
dan wara’.
2.
Mahasiswa mampu untuk menyebutkan tingkatan-tingkatan zuhud.
3.
Mahasiswa mengetahui dan dapat menyebutkan karakteristik zuhud dan
wara’.
4.
Mahasiswa bisa menjelaskan tentang perkara syubhat.
5.
Mahasiswa mampu menyebutkan fadhilah zuhud dan wara’.
BAB II
PEMBAHASAN
I.
ZUHUD
A.
Pengertian Zuhud
Zuhud secara etimologi berasal dari bahasa arab زهد – يزهد - زهدا yang
berarti tidak menyukai sesuatu.[1] Orang
yang bersifat zuhud dinamakan زهيد
atau زهاد . Sedangkan secara terminologi banyak para
ulama’ mendefinisikan zuhud antara lain :
1.
Sayyid Al-Junaidi, zuhud adalah menganggap dan memandang kecil
terhadap dunia.
2.
Abu Sulaiman Ad-Daraini, zuhud adalah meninggalkan perbuatan yang
menyibukkan diri dari mengingat allah.
3.
Syekh Abdul Aziz, zuhud adalah tiada ketergantungan hati terhadap
harta dunia.
Orang yang zuhud bukan berarti tidak perlu mencari dan mempunyai
harta benda sama sekali. Mereka wajib mencari dan mempunyai harta dunia yang
halal menurut kebutuhan hidup mereka secukupnya. Jika harta benda mereka lebih
dan melimpah ruah, maka hati mereka pun tidak bergantung kepada harta benda
tersebut; dan menganggap bahwa harta benda itu hanya titipan atau pinjaman dari
allah kepada mereka yang sewaktu-waktu di kembalikan atau diambil olehnya.[2]
Menurut Sufyan Ibnu Unyainah, zuhud terdiri dari tiga huruf yaitu
zay, ha’, dan dal yang mempunyai maksud dan makna tersendiri; 1)
zay yaitu tarku az-zinah (meninggalkan kemewahan), 2) ha’
yaitu tarku al-hawa (meninggalkan hawa nafsu), dan 3) dal
yaitu tarku ad-dunya (meninggalkan dunia).[3]
Dalam kitab Nashaihul ‘Ibad, juga dijelaskan bahwa zuhud
terdiri dari tiga huruf yaitu zay, ha’, dan dal; 1) zay
menunjukkan zadun li al-ma’ad yang artinya bekal menuju akhirat yakni
takwa kepada allah swt; 2) ha’ menunjukkan hidayatu ad-din yang
artinya petunjuk menuju agama yakni bimbingan agar berada pada jalan agama
islam; 3) dal menunjukkan dawam ‘ala ath-tha’at yang artinya
konsisten dalam melakukan ketaatan yakni senantiasa berada dalam keadaan taat
kepada Allah dan menjauhi segala larangannya.[4]
B.
Karakteristik Zuhud
1.
Tidak merasa suka ketika mempunyai harta dan tidak pula merasa
susah ketika tidak mempunyai harta.
2.
Merasa sama antara dipuji atau dicela.
3.
Merasa senang hati (keledzatan) di dalam beribadah kepada Allah.[5]
C.
Tingkatan Zuhud
Sebenarnya
zuhud adalah suatu kedudukan yang paling utama dan tingkatan yang tinggi
setelah taqwa kepada allah, karena menyebabkan rasa cinta kepada Allah. Dalam
kitab Ihya’ dijelaskan beberapa tingkatan-tingkatan zuhud, yaitu antara lain:
1.
Tingkatan rendah, yaitu orang yang memaksakan diri menjauhi dunia. Ia
rela memerangi nafsunya dalam usaha meninggalkan dunia, sekalipun ia- sangat
menyukainya. Semoga saja hal itu berlangsung terus, sehingga pelakunya mencapai
tingkat zuhud yang sesungguhnya.
2.
Tingkatan sedang, yaitu orang yang menjauhi dunia dengan suka rela,
karena ia menganggapnya kecil, meski sebenarnya ia masih menginginkannya. Tingkatan
ini seperti orang yang meninggalkan uang satu dirham demi memperoleh dua
dirham. Hal ini tidak memberatkannya, akan tetapi masih memperhatikan apa yang
ditinggalkannya itu dan juga masih melihat di seputar keadaan dirinya. Zuhud
seperti ini mengandung beberapa kelemahan (kekurangan).[6]
3.
Tingkatan Tinggi, yaitu orang yang menjauhi dunia dengan sukarela
dan tidak merasakan sikap zuhudnya. Karena, ia tidak menganggap bahwa ia
meninggalkan sesuatu. Menurutnya dunia tidak berarti apa-apa baginya. Seperti
orang yang meninggalkan seonggok tanah liat demi mengambil sebutir permata. Tapi
ia tidak menganggap permata itu sebagai ganti. Betapapun indah dan mahalnya
dunia dibandingkan dengan akhirat tidak ada artinya sama sekali.
D.
Fadhilah Zuhud
1.
Allah akan menyatukan perkaranya, menjaga harta bendanya,
menjadikan kekayaanya di dalam hatinya, dan dunia pun datang kepadanya dalam
keadaan tunduk.
Allah
ta’ala berfirman:
“Barangsiapa
yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya.
Dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia akan Kami berikan
kepadanya sebagian dari keuntungan di dunia, namun tidak ada baginya suatu bagian
pun di akhirat kelak.” [7]
2.
Mempunyai banyak hikmah, bijaksana, lapang dada, dan dicintai oleh Allah.
3.
Hatinya akan selalu diterangi cahaya keimanan oleh Allah dan akan
dimasukkan ke dalam surganya.[8]
E.
Tokoh-tokoh zuhud
Dalam peradaban
islam banyak tokoh-tokoh yang menjunjung tinggi sifat zuhud. Meskipun mereka
mempunyai kekayaan yang berlimpah ruah, kehidupan mereka sangat sederhana dan
cenderung beribadah melebihi mayoritas manusia. Para ahli zuhad yaitu antara
lain:[9]
· Abu Dzar Al-Ghifari (Sahabat Rasulullah)
· Hasan Al-Bashri (110 H/728 M).
· Sufyan Ats-Tsauri (161 H/778 M).
· Said Bin Musayyab (94 H).
· Malik Bin Dinar (171 H).
· Abdullah Bin Mubarak (181 H).
· Rabi’ah Al-Adawiyah (185 H/796 M).
· Fudhail Bin Al-Iyyadh (197 H).
· Abu Al-Hasan Asy-Syadhili.
II.
WARA’
A.
Pengertian Wara’
Wara’ atau yang
lebih dikenal dengan sebutan wira’i berasal dari bahasa arab ورعا ورع يرع yang
berarti menjauhi dari perbuatan haram dan syubhat.[10] Sedangkan
menurut istilah adalah kesanggupan diri untuk meninggalkan dan menjauhi semua
perkara yang haram dan sesuatu yang tidak jelas halal haramnya (syubhat).[11] Rasulullah
SAW pernah berwasiat kepada sahabat Ali bahwa “Tidaklah mempunyai iman yang
sempurna seorang yang tidak wira’i, dan lebih baik (mati) di dalam bumi dari
pada hidup tetapi tidak mempunyai keimanan di hatinya”.[12]
B.
Karakteristik Wara’
Menurut Al-Faqih,
karakteristik wara’ ada 10 yaitu:[13]
1.
Menjaga lidah dari mengumpat (ghibah).
2.
Menjauhi dari berprasangka buruk (su’u adz-dzon)
3.
Menjauhi untuk tidak menghina orang lain (sukhriyah)
4.
Memejamkan penglihatan dari perkara yang haram.
5.
Berbicara benar (tidak berbohong).
6.
Mengetahui bahwa segala nikmat itu dari allah (supaya tidak ujub).
7.
Menginfaqkan harta benda di dalam jalan allah
8.
Tidak sombong.
9.
Melaksanakan sholat lima waktu dengan kontinyu.
10.
Konsisten dalam melaksanakan jama’ah dan ibadah sunah.
C.
Seputar Perkara Syubhat
Syubhat adalah
perkara yang belum jelas atas kehalalan atau keharamannya. Adapun perkara yang
menimbulkan adanya syubhat (keraguan) itu ada dua faktor :[14]
1.
Adanya keraguan terhadap hal-hal yang menyebabkan keharaman maupun
kehalalannya, seperti :
· Matinya hewan
buruan yang tercebur di dalam air yang kemudian timbul keraguan haram setelah
itu, apakah hewan tersebut itu mati sebab tenggelam atau terkena panah.
· Diduga kuat
bahwa air di dalam suatu bejana terkena najis karena terdapat tanda-tanda
tertentu sehingga haram hukumnya meminum air darinya dan tidak boleh pula
digunakan untuk berwudhu.
2.
Adanya keraguan yang muncul akibat percampuran sesuatu yang
diharamkan dengan sesuatu yang dihalalkan, seperti:
· Satu ekor
bangkai binatang yang bercampur di dalam berpuluh-puluh ekor binatang sembelihan.
D. Fadhilah dan
Keutamaan Wara’
1.
Dimasukkan surganya allah.
2.
Mendapatkan kebaikan di dalam beribadah.
3.
Mendapatkan rizki yang barokah.
4.
Menjadi manusia yang terbaik.[15]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Zuhud adalah
tidak adanya ketergantungan di dalam hati seorang hamba terhadap perkara dunia.
Karakteristik zuhud yaitu : sama antara mempunyai harta maupun tidak, sama
antara dipuji maupun dicaci, dan merasakan keladzatan dalam beribadah. Zuhud
ada tiga tingkatan, yaitu tingkatan rendah, tingkatan sedang, dan tingkatan
tinggi. Fadhilah zuhud antara lain yaitu: kaya hati, lapang dada, dicintai
allah, bijaksana, dan hatinya selalu bercahaya keimanan. Tokoh-tokoh zuhud antara lain: abu dzar
al-ghifari, hasan al-basri, rabiah adawiyah, abu al-hasan asyadhili.
Wara’ adalah
kesanggupan diri untuk meninggalkan perkara maksiat (haram dan syubhat). Karakteristik
wara’ antara lain: tidak ghibah, su’udzon, sukhriyah, ujub, dsb. Perkara
syubhat adalah perkara yang belum jelas hukumnya kerena adanya keraguan dalam
sebab-sebab dan percampuran antara kehalalan maupun keharamannya. Fadhilah wira’i antaralain: masuk surga, baik
dalam beribadah, mendapatkan rizki barokah, dan menjadi manusia yang terbaik.
B.
Kritik dan Saran
Semoga penjelasan mengenai
zuhud dan wara’ tersebut bisa bermanfaat
bagi segenap pembaca. kami mohon maaf apabila ada kesalahan baik
berupa penulisan maupun pembahasan di atas karena keterbatasan pengetahuan. Mohon kiranya kritik dan
saran yang membangun untuk kemajuan bersama. Sekian dan wallahu a’lam
bisshowab.
DAFTAR PUSTAKA
Prof.
H. Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Hida Karya Agung, 1990.
Sayyid Abu
Bakar Al-Makki, Kifayatul Atqiya’, Semarang: Toha Putra.
Ahmad Sunarto, Terjemah
Nashaihul ‘Ibad li Syekh Muhammad Nawawi Ibnu Umar Al-Jawi, Surabaya:
Al-Hidayah.
Al-Imam
Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya’
Ulumi Ad-din Juz 4, At-Tauzi’:Darul Fikr.
Al-Qur’an,
Surah: As-Syuuraa, Ayat: 20.
Islam.Info Berguna.com/2012/11/keutamaan bersikap
wira’i.
Adeng
Lukmantara.blokspot.co.id/2010/08/14/sabtu/Mengenal
Tokoh-Tokoh Zuhud.
[4] Ahmad Sunarto, Terjemah Nashaihul ‘Ibad li Syekh Muhammad
Nawawi Ibnu Umar Al-Jawi, Surabaya:
Al-Hidayah, 1416 H. Hal.45.
[5]
Al-Imam Hamid Muhammad bin Muhammad
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumi Ad-din Juz 4, At-Tauzi’:Darul Fikr,
Hal.252.
[6] Imam Al-Ghazali, Penerjemah: ‘Abdul Rosyad Siddiq, Ringkasan
Ihya’ ‘Ulumuddin, Jakarta Timur: Akbar Media Eka Sarana, 2008, Hal.576.
[8] Imam Al-Ghazali, Penerjemah: ‘Abdul Rosyad Siddiq, Ringkasan
Ihya’ ‘Ulumuddin, Jakarta Timur: Akbar Media Eka Sarana, 2008, Hal.379-380.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar